Bab 1

16K 849 26
                                    

"Apakah barang-barang yang kau perlukan semuanya sudah siap?" Tanya ibu disamping mengecek barang bawaannya.

Aku menepuk koperku yang sudah menggelembung, "Semuanya sudah disini." Jawabku dengan tak bergairah. Hm...libur itu memang menyenangkan. Saat kecil mungkin aku akan antusias berlibur ke rumah nenek. Tapi entah mengapa kala usiaku menginjak pubertas, semuanya yang berkaitan dengan kampung halaman terasa membosankan. Tentu saja, disana tidak ada sinyal. Tidak bisa berseluncur di internet, menyapa teman-temanku, dan update status. Desa kecil itu apa coba bagusnya? Aku mungkin juga tidak punya teman disana. Entahlah aku tidak punya kenangan disana, itu sudah lama sekali. Barang kali aku melupakannya. Tidak penting juga.

Disaat teman-temanku berlibur ke Bali, Jakarta, Bandung, bahkan ada yang di luar negeri. Aku malah harus pulang ke desa kecil, kuno, dan jelek. Ini tidak adil.

"Sayang, apakah kau melihat kunci mobilku?" Seru ayah dari dalam kamar.

"Kau tadi meletakannya di meja makan." Jawab ibu berteriak. Lalu disusul suara ayah yang menggerutu karena sifat pelupanya yang menahun.

"Ibu, " panggilku.

"Ya, sayang. Kenapa? Kau sakit?" Balasnya.

"Tidak, tapi bisakah aku tidak ikut saja? Aku tidak mau berada di sana." Wajahku memelas.

"Kenapa sayang? Ada yang tidak kau sukai disana? Kau tidak rindu nenekmu? Biasanya kau paling antusias jika kita berlibur ke rumah nenek."

"Itu dulu, "rungutku manja, "umurku sudah 17 tahun. Disana membosankan. Lagipula aku tidak punya teman."

"Jika kita sampai, ibu yakin kau akan menyukainya. Tidak membosankan seperti yang kau kira. Beiringnya waktu pasti kau memiliki teman. Disana warganya ramah-ramah. Kau akan betah."

Aku menghembuskan nafas keras dari mulutku pertanda tidak setuju dengan ucapan ibu.

"Tapi buuu..."

"Sshtt...tidak ada tapi-tapian. Kita sudah terlambat, " ibu mengusap pucuk kepalaku dengan lembut, suara klakson mobik terdengar," ayo, ayahmu sudah menunggu."

Aku bergumam seadanya. Ku seret koper dengan lesu. Berdoalah supaya hari-hariku tidak membosankan disana.

***

Kepalaku terangtuk keras, mataku secara otomatis membuka. Sejak kapan aku tertidur? Mungkin sudah berjam-jam. Whateverlah. I don't care. Aku mengusap sisi kepalaku yang berdenyut sakit. Mataku bergulir ke kiri, melihat-lihat sekitar dari jendela mobil. Jalan yang tak rata membuat mobil ini sering kali bergoyang-goyang disertai bunyi yang menjengkelkan.

"Ayah dimana kita sekarang?"

"Oh, rupanya kau sudah bangun. Sedikit lagi kita akan sampai pada tujuan. Kita baru saja memasuki muka desa. Rumah nenekmu ada diseberang jalan sana." Jawab ayah disela dirinya fokus menyetir.

Aku bergumam. Ku pandangi lagi di sekelilingku. Pohon-pohon lebat tumbuh subur di ruas jalan. Kanopi hijau itu tampak menyejukkan pandangan. Rumah-rumah penduduk yang masih terbuat dari kayu berdiri kokoh di sepanjang jalan tempat kami melintas. Beberapa orang nampak mengamati mobil yang ku tumpangi ini dari jendela kayu yang terbuka dari rumah mereka.

Dari kejauhan terlihat segerombolan anak remaja dengan tubuh besar-besar dan kekar nampak bermain bola volly dengan pembatas kain usang dan penyangga kayu mungkin kayu jemuran tetangga yang mereka ambil. Rata-rata kulit mereka berwarna kecoklatan, itu yang dapat kulihat dari para pria yang bertelanjang dada itu dan wanita hanya berteriak heboh di kursi penonton. Aku memadangi salah satu dari mereka, entah kenapa mataku hanya ingin melihat laki-laki itu, tidak yang lainnya. Dia memang cukup tampan dari remaja-remaja yang ada disana, tubuhnya lebih besar dan tinggi, dan otot-otot diantara lengan dan perut. Dan satu ciri khasnya, ada sesuatu yang melingkari lengannya. Dugaku itu tatoo. Karena jaraknya cukup jauh, aku sulit melihatnya lebih jelas.

Ketika mobil kami berpapasan dengan segerombolan remaja itu, kepalanya menoleh. Matanya melirik bangku belakang mobil ini, tempat aku berada. Dan aku bersyukur pada kaca gelap yang melapisi pandanganku. Dia tidak mungkin bisa melihat dari balik kaca jendela ini bukan? Ya, itu tidak mungkin. Aku menyetujui pemikiranku. Jadi aku tetap menatapnya tanpa ada rasa takut dia memergokiku. Wajahnya tak beralih jadi aku puas menikmati wajahnya. Jika dilihat sedekat ini. Ia lebih tampan dari yang kubayangkan. Hidungnya terpahat sempurna, wajahnya mulus, bulu matanya cukup lentik dengan netra mata hitam pekat, jarang ada yang memiliki iris hitam. Bibirnya penuh, berwarna merah jambu dan terlihat...seksi.

Mobil bergerak bagai slow motion. Mataku masih terpaku memandang kornea matanya. Lalu bergulir ke lengannya. Yang kuduga tatoo ternyata benar, itu semacam ukiran-ukiran kecil yang saling bertaut melingkari lengan atasnya. Hingga aku memutus pandangan secara sepihak karena sudah puas memandanginya.

Jarak yang terbentang jauh, aku menoleh kembali. Laki-laki itu masih setia menatap mobil ini. Aku mengerutkan alis. Tiba-tiba jantungku berhenti berdetak, aliran darah bagai direnggut habis dari wajahku manakalah saat sosok yang ku amati dari tadi menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis. Aku lantas mengedarkan pandangan, barangkali ia tersenyum dengan orang lain. Mendapati hanya mobil kami yang melintas di jalan ini, aku langsung menghempaskan punggungku. Berharap kursi ini menyamari keberadaanku.

Dia tidak melihat diriku, ya kan?

"Sayang, kamu kenapa? Kau sakit?" Aku merasa dejavu mendengar pertanyaan ayah.

"Aku...sepertinya mabuk perjalanan." Alasan klise, tapi itu anti untuk membungkam mulut ayah. Beliau mempercepat laju mobil. Wajahnya menyiratkan khawatir. Baiklah, aku sedikit durhaka.

Mobil mendarat dengan mulus. Ayah mematikan mesin. Ibu merenggangkan tubuh, baru bangun dari tidur panjangnya. Aku melompat turun. Menghirup udara bersih disini dengan rakus. Mataku terpejam menikmati.

"Kau suka?" Ibu melingkarkan lengannya dibahuku. Sementara mengeluarkan koper dari bagasi mobil.

Aku merengut, "Tidak." Sahutku datar.

Ibu langsung mengacak rambutku gemas, aku berteriak protes sambil menjauhkan kepalaku.

"Kata ayahmu kau mabuk perjalanan. Itu benar?"

"Sekarang tidak lagi."

Ibu bergumam sejenak, kemudian berkata, "Ayo, masuk ke rumah nenek. Ingat, jangan berlaku tidak sopan." Wanti-wanti ibu  yang sudah ku hapal dari kemarin.

"Ya." Kataku sekenanya.

*------*

Harapan aku untuk cerita ini. Semoga aku nulisnya sampai tamat. Amiiin.

Lihat aja ceritaku yg lain, hanya beberapa yg selesai. Sisanya aku gantungin. ^_^

Melody Of Twilight [End] (FIZZO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang