3. SEBUAH MISI

88 4 0
                                    

Ada seorang lelaki mencari Bapak. Rambutnya panjang, dikuncir, dan ada semacam tindikan di kuping. Badannya lebih tinggi dari Bapak. Cukup berisi, tidak terlalu gemuk. Anak Pesisir menebak-nebak siapa orang itu. Tapi setelah ia melihat di mata kakinya, ia mulai yakin. Orang itu memiliki tato bergambar elang merah. 

Orang itu mengajak Bapak keluar dari rumah. Mereka membicarakan sesuatu. Dari jauh terlihat wajah Bapak mengerut, sementara orang itu bicara. Terkadang Bapak bicara cukup tegas dan nyaring.

"Saya tidak mau." 

Anak Pesisir mendengarnya. Ia yang sedang asyik membaca buku menjadi tertarik melihat keluar. Begitu pula Anak Bayan. Mereka mengintip dari jendela rumah dengan berjinjit. 

"Serius sekali sepertinya," komentar Anak Pesisir. "Iya Kak. Ngomongin apa ya kira-kira?" angguk Anak Bayan sekaligus bertanya. 

Anak Pesisir mengedikkan bahu. Entahlah. "Sudah, tidak baik menguping. Nanti kita malah berburuk sangka. Ayo, kembali ke aktivitas semula," ajaknya kemudian. 

Akhirnya Anak Bayan tidak mengacuhkannya. Setelah itu Bapak memasukkan barang-barangnya di sebuah tas. Baju-baju dan buku catatannya telah siap. Tak butuh waktu lama, ia telah keluar rumah. Memberikan barang-barangnya pada teman yang telah menunggu di luar. 

"Ingat, kau harus datang ke pelabuhan. Kalau tidak..."

 "Kalau tidak?" Ia menggantungkan kalimatnya di udara. 

"Keluargamu akan terancam," sahutnya. "Terserah padamu. Kami memberi pilihan." Ia pun berbalik dan pergi dari tempat itu. Bapak kembali ke rumah. Saat Bapak membuka pintu, Anak Pesisir melihat wajah bapaknya tegas dan sedikit menyiratkan kekesalan.

"Kenapa Pak?" tanya Anak Pesisir. "Apa gara-gara orang itu?"

Bapak hanya menggeleng dan tersenyum. "Tidak apa-apa. Jangan pedulikan Bapak. Jika nanti terjadi sesuatu, Bapak titip Anak Bayan dan Ibu kepadamu." Setelah Bapak berkata itu, Bapak masuk ke ruang kerja dan tidak keluar hingga malam. 

"Bapak bicara apa sih?" tanyanya tak mengerti.

Malam itu, Ibu telah menyiapkan masakan istimewa. Udang dengan bumbu saus tiram. Ibu menaruh masakan yang sudah matang di atas dipan. Anak Pesisir dan Anak Bayan telah siap di atas dipan. Mererka memang makan lesehan seperti ini. Ruang makan ini hanya diterangi bohlam lampu 10 Watt berwarna kuning. Jadi, cahaya yang dihasilkan pun remang-remang. Membuat suasananya terkesan romantis. Berkumpul bersama keluarga saat makan malam. 

"Pak, sudah malam. Makan dulu. Sudahi dulu saja kerjanya," sahut Ibu, memanggil Bapak dari ruang makan.

"Iya. Ibu dan anak-anak duluan saja. Bapak nanti menyusul," jawab Bapak dari ruang kerja. Ia harus memikirkan langkah-langkah yang harus diambilnya jika sudah berurusan dengan mereka

Mendengar jawaban itu, Ibu hanya mengedikkan bahu. "Ya sudah. Yang penting Bapak nanti harus makan," kata Ibu. 

"Bu, sebenarnya Bapak sudah tidak keluar dari ruang kerjanya sejak tadi siang," ucap Anak Pesisir. 

"Iya, Bu. Tadi siang ada yang datang cari Bapak. Wajahnya lumayan seram. Rambutnya panjang, dikuncir, ada semacam tindikan di kuping, badannya lebih tinggi dari Bapak," cerita Anak Bayan. 

"Ah, Bapak kan teman-temannya memang seperti itu," jawab Ibu menengahi. 

"Ibu... udangnya enak. Lebih sering masak udang bumbu ini ya," pinta Anak Bayan. 

"Kau suka?" tanya Ibu.

"Sukaaa sekali!" ucap Anak Bayan sambil menggoyangkan kepalanya. Senyumnya terkembang. 

"Kau ini," kata Anak Pesisir. Sambil menjitak kepala adiknya. "Bisa saja cari muka." 

Anak Bayan mengelus kepalanya dan mendengus kesal. "Seharusnya kau juga tidak perlu menjitakku," rengutnya. Ia pun berusaha membalas.

"Eh, sudah-sudah!" lerai Ibu. 

"Kalian berdua, cepat sudahi makan malamnya! Kalau lagi makan bersama jangan bertengkar," nasihat Ibu. 

"Iya Bu," koor mereka berdua. 

Tanpa diketahui keluarganya, Arshad mengambil secarik kertas dan menulis sebuah surat. Ia telah mengambil keputusan. Sebuah pilihan harus diambil. Ia tidak mau mengorbankan apapun. Cukup dirinya saja. Ini sebuah resiko yang harus diambilnya. Ia memutuskan untuk pergi. Dini hari, saat semua sudah terlelap. Bapak meninggalkan rumah. Ia mengintip kamar Ibu, Anak Pesisir dan Anak Bayan, serta mencium kening mereka satu per satu sebagai tanda pamit. Ada sebuah surat yang ia tinggalkan di ruang kerjanya. Seseorang telah menunggunya di suatu tempat. Bukan di pelabuhan seperti yang orang itu katakan. Setelah urusannya selesai dengan orang itu, ia baru akan melaksanakan tugasnya.


Anak Pesisir, Pelaut, dan PerompakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang