Ia akhirnya tersenyum begitu manis setelah air mata mengalir dengan derasnya. Tawanya mampu menutup luka yang ada di hatinya. Walaupun Bara tak melakukan apapun. Hanya dengan bersamanya, ia merasa senang. Seakan-akan, Bara sangat dibutuhkan untuknya saat ini. Sebagai pengisi bagian sisinya yang kosong.
Apalagi gitar yang diberikan Bara untuknya.
Sesampai di rumah, Bia langsung naik ke atas menuju kamarnya.
Rumahnya seperti biasa, sepi tanpa suara seseorang yang selalu memanggilnya saat Bia pulang telat dari sekolah. Apalagi tau Bia pulang malam, Brian akan berceloteh panjang lebar disampingnya.
Kini tak ada yang akan memarahinya saat ia pulang ke rumah pukul tujuh dengan memakai seragam sekolah.
"Baru pulang?" Tanya seseorang yang membuat Bia menoleh ke asal suara yang berada diambang pintu.
Ia terlihat gugup saat melihat maminya datang, "ah iya, mi. Tadi main dulu sama temen." Katanya menjelaskan.
"Mami gak perduli soal itu. Mami mau tanya satu hal." Ujarnya lalu kakinya melangkah menuju Bianca yang baru saja meletakkan gitarnya di samping meja belajar. "kamu sengaja mencelaki Brian, iyakan?!" katanya dengan menatap tajam ke wajah anaknya.
Tentu saja Bia kaget mendengarnya. Hal mustahil yang takkan ia lakukan untuk abangnya.
Bia menggelengkan kepalanya dengan rasa masih gugup, "Bia gak mungkin lakuin itu, mami. Bia sayang abang." Katanya dengan wajah mulai pucat saat maminya begitu dingin padanya.
"Gak mungkin!" katanya yang kini mendekatkan wajahnya ke anaknya. Tentu saja dengan maksud memberikan tatapan yang benar-benar menakutkan. Lalu, saat wajahnya sedikit menjauh dari wajah Bia, tangannya, tangan itu menampar keras pipi Bianca.
PLAKK!!!!!
"JUJUR SAMA MAMI, KENAPA KAMU CELAKAI ABANG KAMU SENDIRI?!"
Bia dapat merasakan pipinya terasa panas dan sakit. Sekuat mungkin, ia menahan tangisnya.
"BIA UDAH BILANG. BIA GAK NGELAKUINNYA. BIA SAYANG SAMA ABANG." Teriak Bia dengan emosi dan sedih bersamaan.
"Kamu cemburu! Iyakan!" katanya lagi dengan suara pelan tapi menusuk. "Kamu cemburu karena mami lebih perduli Brian dari pada kamu, iya kan?!"
Air matanya jatuh. Bia gak bisa menahannya lagi. Ia gak sekuat yang diperkirakannya.
"Bia memang cemburu. Tapi Bia gak akan pernah celakai abang. Gak akan pernah!"
"BOHONG!!" maminya benar-benar emosi sampai-sampai mami mengguncang tubuh anaknya sendiri. "Jujur sama mami. Kamu yang ngelakuinnya, iya kan? Kenapa Bia? mami butuh Brian. MAMI BUTUH BRIAN, BIANCA!!" Teriaknya diakhir ucapan maminya.
"Bia juga butuh abang, mi. Tapi bukan Bia pelakunya." Ucap pelan Bia saat semua tenaganya terkuras habis oleh air mata.
"BOHONG!!" Bia di dorong maminya, hingga tubuhnya terkena meja belajar yang ada dibelakangnya. "KAMU PEMBOHONG, BIANCA. KAMU SAMA SEPERTI PAPIMU. PEMBOHONG!!!" Teriaknya dengan histeris. Lalu terduduk dengan air mata yang juga jatuh.
Ia tau, mami begitu terpukul dengan kepergian Brian. Ia tau. Karena Bia juga merasakannya. Namun, tak selamanya kebersamaan akan terus terjaga. Suatu saat perpisahan takkan bisa dielakkan.
Seperti Papi yang memutuskan untuk meninggalkan keluarganya. Bahagia dan membiarkan ia menderita karena perlakuan maminya.
Setelah cukup puas menangis, maminya bangkit dan lagi tatapan itu sangat dingin. Seakan-akan, menatapi orang lain yang ada di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling
Roman pour AdolescentsTentang rasa yang terikat pada takdir. *** By vebia Highest rank #26 melupakan Highest rank #7 musibah