Satu bulan kemudian, semuanya semakin jauh-jauh-jauh dan menjauh. Tidak ada lagi obrolan, tidak ada lagi ketawa bareng, main bareng, seru bareng-bareng, atau hanya sekedar tegur sapa. Semuanya sirna.
Rey terlanjur sakit hati, atau bahkan lebih buruk lagi. Karena ia harus menjalani suatu hal yang menyiksa perasaannya sendiri. Yaitu membenci orang yang ia cintai.
Bagas pun melakukan hal yang sama dengan Rey, yaitu menjaga jarak seolah tidak pernah mengenal Kayla lagi. Sedangkan Mauren dan Andira mengetahui, tapi tidak semuanya. Yang mereka ketahui hanyalah Rey menyatakan perasaannya untuk Kayla, dan mereka ngejauh karena Kayla menolaknya. Padahal bukan itu alasan sebenarnya mereka saling menjauh.
****
Sepulang sekolah dihari rabu, semua murid berjalan keluar ruang kelas. Tapi Kayla masih tetap stay terduduk pada posisinya, bahkan ia masih belum merapihkan buku-bukunya masuk kedalam tas.
Sampai akhirnya Rey berjalan keluar melewati dirinya tanpa ada interaksi sedikitpun. Kayla hanya memandang punggung Rey yang berjalan semakin jauh seolah-olah hatinya tidak bisa berbohong, ia tidak menyukai perubahan ini.
Kayla menulis sesuatu pada selembar kertas, lalu ia remas paksa kertas tersebut dengan tangan kanannya dan ia masukkan kedalam laci meja untuk kemudian ia merapihkan bukunya yang berserakan dan pergi meninggalkan kelas.
Tanpa Kayla sadari, Bagas masih terduduk dibelakangnya. Saat ruangan kelas sudah lengang, Bagas menghampiri laci meja Kayla, mengambil selembar kertas yang sudah berbentuk bola saat ini, dan membukanya.
"Maafin gue rey"
Bagas berjalan menuju parkiran sekolah dengan pikiran yang kalut dan hati yang tercekat. Satu kalimat itu membuatnya sangat yakin, bahwa Kayla mencintai Rey dan hanya peduli pada Rey. Dan mulai saat ini, ia harus membuang semua perasaannya untuk Kayla. Meski itu sulit, ia akan tetap mencoba.
****
pukul 03:50 sore di Comic Cafe
"Ada apa, ngajak Kayla kesini?"
"Enggak, cuman pengen ngobrol aja sama kamu. Numpung papa lagi ada di Jakarta." Balas Rio.
"Gimana keadaan bang Alva? Dimana keberadaannya sekarang?"
"Baik-baik aja. Lagi di hotel Mercure, dia ikut papa kesini."
"Pah." Berat sekali Kayla memanggilnya seperti itu melihat kenyataannya bahwa Rio bukan lagi papanya.
"Iyaa Kay, ada apa?"
"Kenapa sih, dulu papa ngelakuin hal kayak gitu? Pertengkaran hebat. Perceraian yang telah disahkan disaat Kayla masih belum percaya.
Papa itu baik banget, mungkin di mata banyak orang juga begitu. Papa rajin menolong, jiwa sosial papa tinggi terhadap sesama. Dimata Kayla, papa udah berhasil mendapatkan peran terbaik sebagai seorang ayah didalam sebuah keluarga.
Tapi semua itu sirna. Karena satu kesalahan membuat pikiran seribu satu kebaikannya tertanam."
Rio bungkam. Tidak percaya bahwa putri bungsu nya akan melontarkan kalimat seperti itu. Membuat perasaannya kini benar-benar ter-iris bersalah.
"Apa kamu tahu, mama kamu adalah wanita pilihan dari kedua orang tua papa, ialah kakek dan nenek kamu. Dan sungguh jelas papa tidak mencintainya. Apa salah, papa membuat keputusan untuk bercerai dan menikah dengan wanita lain yang papa cintai?"
"Kenapa papa tidak menolak keputusan kakek? Papa punya hak untuk itu."
"Gak bisa Kay. Kata kakek kamu, semua itu sudah disepakati sejak dulu. Bahwa ia akan menjodohkan anak lakinya dengan anak perempuan dari sahabat karibnya. Bukan hanya sekedar sahabat karib, melainkan ia sudah berhutang budi karena telah diselamatkan nyawa nya kala itu."
"Apa mama juga merasakan hal yang sama? Menikah dengan orang yang tidak ia cintai?"
"Awalnya seperti itu, tapi seiring berjalannya waktu, mama kamu mencinta papa. Tapi papa masih mencintai wanita pilihan papa."
"Tapi kenapa papa memilih untuk berpisah disaat Alva dan Kayla sudah dilahirkan? Saat hampir remaja dan disaat kami mengira bahwa keluarga ini akan utuh selamanya?!"
"Sudah lah Kay, tolong. Tolong berhenti membuat hati papa perih karena terus membahasnya."
"Pah tapi--"
"Intinya, kamu jangan selalu melihat mundur ke masa lalu. Karena kamu itu punya masa depan yang jauh lebih panjang untuk kamu hadapi. Biarlah semuanya berlalu, biarlah menjadi pelajaran. Apalagi kalo masa lalu jadi alasan yang berdampak negatif untuk perubahan sifat kamu dimasa yang sekarang. Itu gak ada untungnya sama sekali."
"Yauda kalo gitu, Kayla minta nomor telepon bang Alva." Kayla menghiraukan semua nasehat Rio.
"Iya, nanti papa kirimin lewat pesan ya."
****
Pukul 08:30 malam di Starbucks Coffee Senayan Plaza. Alva menghisap batang rokoknya dalam-dalam, lalu ia hembuskan membuat udara disekitarnya dipenuhi gerombolan asap yang membuat Kayla benci.
Kini Kayla sedang berhadapan dengan kakaknya sendiri. Kakak kandungnya yang kini sudah berubah jauh lebih buruk dari apa yang ia pikirkan.
"Ngapain lo ngajak gue kesini? Mau ngelihat perubahan gue?!"
"Gue itu sekarang udah berubah. Bukan lagi Alva yang lo kenal dulu selalu ada dan ngelindungi lo, bukan. Gue itu udah buruk, gue udah ngancurin hidup gue sendiri." Sambung Alva.
"Terus lo bangga dengan lo yang ngancurin hidup dan tubuh lo sendiri? Lo bahagia ngelakuin itu?"
"Jelas bahagia. Karena itu satu-satunya cara yang bisa buat gue tenang walaupun sejenak!"
"Mana janji lo dulu bang? Mana yang lo bilang katanya gak semua cowok bakal ngelakuin hal-hal yang negatif dan ngerusak dirinya sendiri?"
Alva menaruh dan menekan ujung rokoknya diatas asbak hingga mati.
"Dari dulu gue paling gak suka di panggil abang, tapi lo masih ngeyel juga sampe sekarang.Dengerin gue Kay. Berawal dari kejadian itu, gue kayak bener-bener muak sama semuanya. Orang yang gue pikir bakal ngelindungi gue dan selalu jadi yang terbaik ternyata malah ngancurin kisah hidup gue gitu aja. Gue gak suka Kay, tinggal sama orang yang gue benci bersama dengan wanita murahan pilihannya. Gue muak ngejalanin hari-hari gue bareng mereka.
Sampe suatu hari gue mencoba untuk ngebuka diri gue sendiri, ngelakuin semua hal bebas yang ngebuat jiwa gue tenang. Walaupun itu dengan cara liar, gue gak peduli. Awalnya gue cuman ngerokok. Tapi lama-lama akhirnya gue ngobat Kay sampe hari ini. Urusan sekolah gue juga ancur, semuanya udah berantakan.
Lo pasti kecewa kan sama Alva lo yang sekarang?"
"Sifat lo kayak anak kecil bang, gue gak nyangka. Tanpa harus jawab, gue yakin juga lo udah tau apa jawabannya. Jujur aja, saat kejadian itu, saat keluarga kita cerai-berai. Gue jadi ngerubah hidup gue untuk ngejauh dari semua cowok manapun.
Itu semua karena kesalahan papa ditambah lagi sifat papa tiri gue yang terlalu overprotective. Jadi gue ngerasa kayak semua cowok itu sama aja."
"Heh Kay, sifat nakal yang gue lakuin mah dewasa! Malahan sifat lo yang takut sama semua cowok itu yang kayak anak kecil, tahu gak? Basi!"
***
YOU ARE READING
Seperti Musim yang Sementara [Completed]
Dla nastolatkówTepat ditengah malam mataku memejam Tapi tak ada yang kutemukan Debar juga binar saat irismu lenyap Entah karena kisah diantara kita yang telah lewat Atau esensiku bagimu yang tak lagi sama Aku menyelam diantara kalut pikiran Mencari jejak- je...