Langit mendung kota Bandung. Tatapan semua orang tertuju pada seseorang yang tengah dimasukkan ke liang lahar. Sungguh suasana yang sangat menyedihkan. Namun, tak seorangpun menampakan air mata mereka.
Para keluarga, teman, sahabat, dan kerabat datang untuk mengantarkan beliau ke tempat peristirahatannya yang abadi.
Ada yang kurang. Ya. Masih ada seorang keluarga yang tidak hadir. Dia adalah satu-satunya orang yang paling bersedih atas kematian sang oma. Cintanya begitu besar pada almarhumah, hingga ia sendiri tidak sanggup melihatnya untuk yang terakhir kali.
"Semoga tenang di sana oma."
"Semoga tenang di sana bunda."
Ucap Thania, bunda, dan ayah berbarengan. Mereka tampak biasa saja atas kematian oma. Semua orang bisa melihatnya. Namun, raut kesedihan murni tercetak jelas dari mimik muka bunda dan ayah, tapi tidak dengan Thania. Ada apa sebenarnya?
🍃🍃🍃
Thalia. Cewek itu masih saja mengurung diri di kamar yang selama ini selalu menemani sepinya hari yang dilalui sang nenek. Tidak ada air mata yang mengalir. Ia duduk dengan punggung yang menempel pada sandaran kasur. Tangannya memeluk bantal kesayangan omanya. Tatapan kosong terarah pada sebuah frame foto yang memperlihatkan betapa dekatnya dia dengan sang nenek.
Krieeetttt
Terdengar suara decitan pintu tua yang terbuka. Entah siapa, Thalia pun tidak tahu dan tidak mau tahu. Walaupun ada yang memasuki kamarnya, tatapannya tetap tidak teralih.
"Thalia..." panggilan lembut dari seseorang. Thalia menatap ke samping saat dirasanya kasur yang ia duduki sedikit bergoyang.
"Ngapain kamu ke sini?" Thalia malah bertanya hal yang tidak penting dengan nada ketus.
Cowok itu, Axal, memahami kondisinya sekarang. Ia memegang bahu Thalia pelan, dan sedikit mengelusnya. Walaupun disentuh seperti itu, Thalia menghiraukannya, ia sedikitpun tidak terganggu oleh kehadiran orang yang sangat ia benci saat ini.
"Kamu gak ikut nganterin oma ke tempat peristirahatan terakhirnya?" Tanya Axal. Pertanyaan itu sukses membuat Thalia mengalihkan perhatiannya pada Axal. Ia menatap tajam Axal, dalam tatapannya tergambar kepedihan, kesakitan, dan amarah.
"Apa maksud kamu terakhir kali?! Oma sekarang lagi di kebun! Kamu jangan ngada-ngada! Oma ada di kebun! Sebentar lagi dia bakalan pulang."
Thalia terlihat sangat menyedihkan. Axal tidak tega melihat Thalia yang seperti itu. Dia lebih suka melihat Thalia sibiang onar yang selalu membuat kekacauan yang membuat gelak tawa orang lain pecah.
"Thalia..."
"Gak! Oma belum meninggal! Tadi pagi dia pamit kok sama aku mau ke kebun. Biasanya sih dia udah pulang. Tapi kenapa dia belum pulang ya? Apa aku susul aja, ya?"
Thalia bangkit dari kasurnya, Axalpun melaku kan hal yang sama. Thalia berjalan cepat, saat di ambang pintu, ia membalikkan badannya dan menghadap Axal dengan tatapan yang penuh kekhawatiran.
"Gimana kalau oma jatoh? Atau... atau... gimana kalau oma pingsan di jalan? Axal! Ayo, anterin aku buat jemput oma."
Thalia sudah seperti orang yang depresi. Penampilannya sangat acak-acakan, kantung matanya menghitam, dan matanya juga sembab.
"Thalia..."
"Axal... jangan banyak ngomong! Cepet keburu ujan! Udah mendung gini." Thalia meraih pergelangan tangan Axal dan menariknya. Namun, Axal menolaknya dengan menarik tangan Thalia hingga tubuhnya menubruk dada bidang Axal.
"Thalia! Sadar! Oma udah meninggal! Jangan kaya gini!" Tangan Axal menangkup kedua pipi Thalia. Ia berteriak membuat Thalia diam dan tidak bergeming.
Mendengar itu, barulah mata Thalia kembali berair.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Far Away ✔✔✔
Teen FictionMencintaimu adalah hal yang paling menyakitkan. Setiap hari aku selalu membayangkanmu dan menangis, tanpamu aku tidak bisa melakukan apapun. Aku selalu mengawasimu dari kejauhan. Seperti angin dan debu, yang tak bisa ku tangkap walau kau sedekat nad...