kesembilan

92 26 7
                                    

Beberapa orang berjalan perlahan. Sesekali mata mengintai di sekitar ruang makan. Berbekal pakaian, jajanan ringan, dan keberanian, mereka menaiki tangga menuju atap Asrama Puan. Di sore yang sejuk seperti kini, anak-anak Arkais berencana memainkan peran menggunakan panggung buatan sendiri.

Sang sutradara dan asisten pun memimpin di depan, wajah mereka berseri tak tertahankan. Namun, pupus sudah harapan kala tiba di tempat tujuan. Dilihatnya Gahara memandu Dinar dan Batari menerjunkan barang-barang milik Arkais ke halaman.

"Gahara!" teriak Gerda beringas.

Laki-laki itu berhenti memerintah, lalu melambai dan menyapa, "Hai, Gerda. Aku ingin meminjam barang-barang milik timmu. Kayu, takraw, kain, dan beberapa yang lain telah berada di bawah. Tinggal tongkat kasti ini, maka urusanku selesai."

Lengan baju tersingsing, sejenak mata Gerda memicing. Maju selangkah, Askar malah mencegah. "Jangan menggunakan emosi, Gerda," katanya menenangkan.

"Tidak. Akal sehatku masih bekerja, Askar," dustanya.

Usai Askar dan lainnya mengembus napas lega, Gerda melanjutkan jalannya. Kemarahan mengisi setiap pergerakan kaki, lebih mendekat kepada orang yang menyebabkan Gerda ingin makan hati. Berhenti di sini, tepat di hadapan Gahara yang memegang tongkat kasti.

Senyum liciknya keluar. "Senang bertemu lagi, Tuan Gahara yang terhormat."

"Ya, aku juga senang," balas Gahara tenang, "kamu tidak terlihat takut seperti hari kemarin informasi itu keluar."

Anggukan mantap dilancarkan oleh Gerda. "Informasi itu mungkin bisa dibilang benar. Jadi, daripada aku larut dalam depresi, lebih baik kucoba untuk menciptakan memori tersendiri."

"Bagaimana caranya?"

"Dengan ini!"

Tangannya sigap mengambil alih tongkat kasti. Ia tergelak, penuh muslihat di dalam otak. Ingin naluri memilih Gahara langsung mati, tetapi hati mengoposisi. Tidak baik bila ia menghilangkan nyawa seseorang di usia dini. Sangat disayangkan bagi suara hati, Gerda lebih berpihak pada suara naluri.

Beberapa orang di belakang mulai berbisik, berharap bahwa Gerda tidak akan membuat martabat dirinya dan kelasnya terusik. Namun, lagi-lagi ia tak menaruh peduli. Badan ramping berdiri tegak, rasa marah di dalam jiwa tengah melalak. Tersisa hitungan tiga detik untuk dirinya meledak.

"Kembalikan barang-barang kami atau kamu memilih mati!" ancamnya, tongkat teracung ke hidung.

Gahara mundur teratur. "Kamu tidak bisa membunuhku, Gerda," katanya setengah takut. "Aku adalah pemimpin tertinggi di Sekolah Arasy."

"Para pemimpin bisa saja mati di tangan pemimpi yang menyimpan dengki."

Seiring Gahara mundur, Gerda maju mengambil tempat di depan, tak mengizinkan siapapun merebutnya. Ungkapan penyesalan dari bibir Gahara kian memanjang, demikian pula gadis itu yang semakin memberang. Telinganya seolah menjadi apatis mendengar teriakan histeris, apalagi terhadap Dinar dan Batari yang berbicara sarkastis.

Mereka berada di sudut sayap kanan atap Asrama Puan. "Masih tidak mau menyerah, Tuan Gahara?" tanya Gerda.

"Aku sudah meminta maaf, Gerda. Lepaskan tongkat ini dari hidungku," mohon Gahara, merangkup kedua tangan penuh sesal.

Gelengan dari Gerda membuat air muka Gahara meresah. "Kata maaf tidak akan menyelamatkanmu." Ia menurunkan tongkat, lalu membelai rambut panjang lawannya dengan lembut. "Aku hanya ingin kamu mengembalikan barang-barang kami. Meminjam tanpa permisi bukanlah tabiat baik seorang petinggi."

"Bagaimana dengan Rana yang mencuri barang milik Ayahku?"

Sempat Gerda kelabakan. Akan tetapi, otaknya lekas mengirimkan jawaban yang elegan. "Kamu harus tahu, Gahara. Adakalanya kejahatan kerah biru enggan untuk ditindaklanjuti."

"Itu tidak adil!"

Tawa Gerda meluap, membubung tinggi kala Gahara meneriakkan ketidakadilan. Sungguh sebuah ironi yang menyayat hati. Seharusnya Gerda dan kelas Arkais yang menyatakan itu di hadapan seluruh umat Sekolah Arasy. Estimasi rendah terhadap mereka adalah sebuah ketidakadilan.

"Jangan banyak bicara, bodoh!" teriak Gerda membuyarkan pendapat di dalam benaknya. "Suruh dua jalang cantik itu menaikkan barang-barang kami!" Tongkatnya mengarah kepada Dinar dan Batari.

"Apa maksudmu dua jalang can--" Ucapan mereka segera terhenti oleh isyarat Gahara yang menyuruh pergi.

Dengan terpaksa keduanya menunaikan perintah, sementara Gahara malah tersenyum penuh makna. Tangan tak lagi terangkup, bibirnya justru mendarat di pipi Gerda, memberinya sekecup tanpa ragu, kemudian berlalu. Para manusia di belakang sana hanya mampu menganga tanpa melakukan sesuatu yang berguna.

Namun, tidak dengan Askar yang langsung mendatangi Gerda. Tepukan pelan pada pipi bekas kecupan berhasil menyadarkannya. Selayang pandang kejadian itu terbayang. Ada sesuatu dalam benaknya yang mengambang, tetapi lekas hilang ketika seseorang bersiut di halaman.

Di balik kisi-kisi ia menyelidik, menemukan Gahara menatapnya disertai teriakan, "Gerda, sang garuda, baru saja mendapat sekecup penuh cinta dari seorang pemuda gagah, yaitu saya!"

°°°

This part is kinda cute, but cringe at the same time HE HE

Omong-omong, aku baru dengerin Fake Happy-nya Paramore loh! (Ea, aku kudet) Dengerin deh! Maknanya keren sangat!

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang