Bagi beberapa orang
Kenangan adalah senjata yang mematikan
"Gagal, lagi?" Pria berambut cepak itu mengangkat sebelah alis tak percaya. Mata elangnya tertuju pada sang rekan yang duduk di hadapannya.
Desahan lelah adalah jawaban dari pria dengan rambut pendek dan berantakan itu. Matanya yang biasanya bersinar jail kini tampak muram.
"Apakah itu berarti kita harus turun tangan?" Pria berambut cepak itu berusaha untuk tidak terdengar geli, tapi ketika rekannya menatapnya dengan tatapan kesal, ia tahu ia gagal. "Maaf, Brian," ucapnya seraya mengangkat tangannya dengan menyesal. "Pasti tidak akan seburuk itu, kan?"
Pria berambut berantakan itu mendengus kasar seraya berdiri dan mendorong kursinya ke belakang dengan berisik. "Aku benci menginjakkan kakiku di negara itu lagi," suara Brian terdengar begitu sungguh-sungguh. "Kau yang paling tahu tentang itu, Joe."
Jonathan, atau yang biasa dipanggil Joe itu, mendesah pelan. Ya. Ia tahu. Karena itulah, ia tidak ingin Brian terus dihantui masa lalunya. Joe tahu bagaimana masa lalu Brian dan ia tidak ingin lagi melihat Brian melarikan diri dari masa lalunya. Ia hanya harus menghadapinya. Joe tidak bisa selamanya melindungi Brian. Bagaimanapun caranya, Brian harus bisa melindungi dirinya sendiri dari masa lalunya. Untuk itu, dia harus lebih dulu menghadapi masa lalunya. Atau dia akan terus terluka.
"Tapi ini misi kita, Brian," Joe berkata datar, tanpa tuduhan ataupun paksaan. "Jangan biarkan masalah pribadimu mengusik misi ini."
Brian mengalihkan tatapan. Joe mencelos melihat kepedihan di mata yang biasanya selalu bersinar dengan energi positif itu.
"Mungkin kau tidak membutuhkan mereka, tapi mereka membutuhkanmu, Brian. Bagaimanapun, itu adalah negara kita. Kau tidak akan mengabaikan tanah airmu hanya karena masa lalumu mengabaikanmu, kan?" Joe berkata lembut, lagi-lagi tanpa penekanan.
Brian mengembuskan napas frustrasi. Ia berbalik dan berjalan ke arah pintu. Ia menghentikan langkah tepat di depan pintu dan bertanya, "Untuk negara yang bahkan tidak pernah peduli pada hidupku, haruskah aku berjuang sekeras itu?"
Joe meringis. "Jika bukan demi negara itu, setidaknya demi orang-orang yang memiliki nasib sama sepertimu," balasnya.
Brian mendengus kasar, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu.
"Bukan demi negara itu, Brian. Tapi demi orang-orang yang menderita karena ketidakadilan di negara itu," suara Joe memenuhi ruangan itu. "Orang-orang yang tidak bersalah, orang-orang yang berhak bahagia dan hidup lebih baik."
Joe menunduk dan menatap kode yang tertulis di atas kertas putih itu. Deretan angka-angka yang tak mungkin bisa dimengerti oleh orang-orang biasa. Pesan yang membuat suasana hati Brian langsung murung saat mendapatkannya.
"Maaf, karena aku tidak datang lebih cepat dan menemukanmu, Brian. Maafkan aku." Kali ini, Joe tak berusaha menutupi kesedihannya sendiri.
***
"Hanya beberapa tahun tidak kemari dan negara ini sudah sepanas ini?" keluh Brian, membuat Joe tersenyum di sebelahnya.
"Beberapa tahun?" gumam Joe. "Biar kusebutkan berapa tahun yang kau maksud itu. Um ... tujuh tahun ... atau delapan ..."
"Sepuluh," sebut Brian ketus. "Terakhir kali aku kemari aku dikirim untuk menyamar di sekolah."
Joe tampak menahan tawa. "Ah, benar. Kau berbaur dengan baik dengan anak-anak sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Silver Bullet (Republish Di Dreame)
AcciónBrian, seorang agen rahasia internasional SIA, dikirim ke negaranya untuk membantu NDA, Agen Pertahanan Nasional negaranya. Bersama rekannya, Jonathan, Brian harus berhadapan dengan mata-mata di dalam NDA yang disebut sang Mata Kegelapan. Keberadaan...