Berdua seperti ini, menatap senja yang sama, dengan kamu di sampingku. Hanya ini yang aku mau, sungguh. Aku berharap senja akan lebih lama dari biasanya, tanpa peduli es krim di genggamanku mulai menetes dan berakhir lengket di tangan.
"Eh, Fik, es krim lo meleleh tuh. Jilat dulu sana."
Samar, aku mendengar suaranya, seperti mengingatkanku pada es krim yang meleleh. Tapi, siapa yang akan peduli.
"Woi, Fika!"
"Eh Fika Fika Fika, eh Fika." Sial, latahku kambuh.
"Jiahh, latah lagi," Serta merta tawanya menyembur. "Itu es krim, woi, meler-meler ke tangan lo. Lengket semua mampus dah."
Menyadari sepenuhnya, aku panik. Langsung kujilati lelehan es krim yang bahkan sampai ke pergelangan tangan. Sedikit asin kurasakan, tapi biarlah, aku tak punya tissu.
"Eh gila lo jorok banget, gue punya tissu, elahh." Dia merogoh kantung seragamnya, menemukan dua lembar tissu di sana, dan menyodorkannya padaku.
"Makasih, Yo, tapi gini lebih enak."
Dia lagi-lagi tertawa, tapi kini sambil mengacak rambutku, "Dasar anak jorok. Rusak dah cantik lo."
Aku tersentak, lalu menyadari bahwa itu berlebihan. "Gue.. Gue cantik?"
"Lo pikir tiga belas cowok yang pernah nembak lo itu karena apa?" Jawabnya santai setelah menggigit cone es krimnya.
"Ah iya, tiga belas ya."
"Lo tu cantik, tapi sayangnya selain jorok lo juga bego. Masak iya dari ketiga belas cowok itu lo tolak semua? Bukannya salah satunya anak wali kota itu ya?" Perkataan yang itu bukan pertama kalinya kudengar.
"Yaa karena gue lagi nunggu seseorang. Seseorang yang nggak termasuk dalam ketiga belas cowok itu." Kata 'nggak termasuk' aku tekankan kuat-kuat.
Dan akupun tau ini bukan kali pertamanya dia mendengar perkataanku itu.
"Tapi Fik, lo harus ngerti satu hal, ada saatnya lo harus belajar mencintai orang yang cinta sama lo, dari pada harus terus ngejar-ngejar orang yang bahkan nggak peduli kalo lo masih hidup."
Tepat setelah dia menyelesaikan kalimatnya, senja resmi berakhir. Sang malam yang murung menyapa, dan aku tak perlu lagi menjawab perkataannya.
***
"Tujuh belas tahun lo hidup, Fik." Dia menyodorkan sebuah benda lonjong yang dibungkus kertas kado dengan asal.
Aku menerima bungkusan itu dan menaikkan sudut bibirku. "Dan gue masih jomblo."
"Nggak mau tau ya, pokoknya habis ulang tahun lo ini, lo harus ngenalin pacar baru lo ke gue."
Senyumanku meluap. Ada semacam emosi yang menelusup, membuat dadaku sesak. Hari ini, di tempat yang selalu sama saat dia duduk di sampingku, dengan pemandangan yang sama juga─senja.
"Yah, gue dikacangin lagi. Lo tu suka tiba-tiba bengong ya." Melalui ekor mataku, aku dapat melihatnya menggeleng pelan.
Lalu dia menyenandungkan lagu kesukaannya, lagu yang sama saat kita pertama saling mengenal. Lagu yang entah bagaimana selalu mampu menjungkir-balikkan segala memori tentang dia.
Maka kupikir, sudah cukup. Aku tidak ingin menahannya lagi.
"Theo?"
Dia menoleh, masih mendendangkan lagu yang sama.
"Gue sayang sama lo."
Lagu itu berhenti. Perlahan, aku dapat melihat perubahan air muka di wajahnya.
Dia tertawa ragu, "Gue ... Ya gue juga sayang lah sama lo."
Aku terkesiap, seluruh ujung jemariku menurunkan suhunya. Tuhan, kendalikankah degup jantung ini.
"Lo kan sahabat terbaik gue, Fik. Mana ada sih sahabat yang nggak saling sayang." Dia mengalihkan pandangannya, lalu bersiul pelan melanjutkan lagu tadi.
Detik itu juga, aku tak lagi dapat merasakan degup jantungku. Seluruh suara yang tadi bergemuruh terdengar tak jelas di telingaku. Tak ada rasa nyeri di dadaku. Aku tak lagi bisa merasakan tubuhku. Semuanya kebas. Tanpa ampun.
Tapi bukan sayang yang seperti itu yang kumaksud, Yo.
Aku mengutuk diriku sendiri yang tak mampu mengatakan fakta itu. Bahwa rasa sayang ini adalah lebih dari yang ia maksud.Bahwa seharusnya dia menyadari, bagaimana caraku membersihkan lukanya dengan penuh kasih sayang dua pekan lalu akibat terjatuh di pertandingan basket, bagaimana suaraku yang melembut ketika berbicara dengannya, bagaimana upayaku menyempatkan diri untuk menikmati senja berdua dengannya, dan rela menerima amukan papa setelahnya karena pulang saat hari sudah gelap.
Hal-hal kecil yang kulalukan untuknya selama ini kurasa cukup untuk menyiratkan rasa ini. Tapi kenyataannya dia tak pernah mengartikannya lebih dari sewajarnya sebuah persahabatan.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam, membiarkan segala rasa yang membuncah terurai di sana. Membiarkan satu persatu air mataku luruh, meskipun tahu dengan ini semuanya tak akan bertambah baik. Aku menekan bibirku kuat-kuat dengan sebelah tanganku, agar isakanku tidak terdeteksi olehnya. Dengan sebelah tangan yang lain meremas kuat-kuat bungkusan kado darinya.
Sementara itu, matanya terfokus pada satu momen favoritnya─senja. Selama empat puluh delapan detik dia terkesima, seperti biasanya. Tanpa ia tahu, itu adalah empat puluh delapan detik yang menyakitkan bagiku.
Senja berakhir dengan semestinya, hingga aku menyadari bahwa perasaan ini tak akan pernah sampai kepada pemiliknya, yaitu dia. Perasaan ini, hanya akan berakhhir di sebuah malam penuh luka dan sebuah tekad untuk menguburnya rapat-rapat. Tanpa sebuah kesempatan untuk dia menyadarinya─
The End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepada Kasih, Tentang Sebuah Hubungan Bernama Persahabatan
Short StoryBagi Fika, rasa sayang yang dimilikinya cukup jelas untuk disadari, tanpa harus ia ungkapkan secara gamblang. Bagi Theo, sahabat adalah salah satu orang yang paling di'sayang'inya di dunia ini, dan ia tak ingin mengusik kemurnian dari fakta itu.