2. Melamar

227 51 5
                                    

"Lagi dimana?"

"Emang kenapa, Uda?"

"Uda mau ke rumah."

"Hah? Enggak biasanya? Mau ngapain?"

"Mau melamar kamu."

"Halo?"

"Halo?"

"Sayang? Masih hidup, kan."














Maaf, Uda. Aku nggak bisa jawab. Aku ambyar.

















Wkwkwkw, nggak ding. Maaf authornya kebanyakan mengkhayal :")
















Habis aku baper sama judulnya.














Oke, selamat membaca.














"Permisi." One memasuki bangunan berlantai dua yang terlihat tidak terawat di persimpangan jalan itu. Berdiri di dekat meja kasir, menunggu seseorang yang dapat ditanyainya soal tulisan "Butuh Karyawan" yang tertera di jendela.

Satu kata yang terlintas di benaknya, sepi. Iya, tidak ada satu pun orang yang makan di tempat itu. Hanya ada sebuah televisi kecil di dinding atas meja kasir yang dibiarkan menyala begitu saja tanpa ada yang menonton. Lagipula siapa orang yang mau makan di tempat yang bahkan punya penerangan seadanya seperti ini sementara di seberang jalan ada restoran cepat saji yang terlihat jauh lebih menyenangkan untuk mengahabiskan waktu istirahat makan siang.

"Heh, lo! Jangan deket-deket cowok gue, dasar cewek gatel." Sekumpulan gadis menyungkurkan seseorang yang terlihat cupu, sementara si cewek cupu terlihat hanya menunduk diam.

One berdecak, mungkin ini salah satu alasan kenapa rumah makan ini sepi. Selera si--siapapun yang menyalakan televisi ini--buruk. Tapi pada akhirnya cowok itu menopangkan dagunya sambil menikmati tontonan gratis itu. Diam-diam mulai mengikuti ceritanya. Rasanya sudah lama sekali sejak dirinya menonton televisi.

"Selamat siang, ado yang bisa dibantu?" Suara dengan dialek minang yang kental itu hampir membuatnya terlonjak. Seorang paruh baya dengan ekspresi kelewat datar entah sejak kapan berdiri di belakang meja kasir. One segera menyunggingkan senyum, menutupi keterkejutannya.

"Selamat siang, Bu. Tadi saya lihat ada tulisan 'butuh karyawan' di--"

"Kamu bisa kerja di sini mulai besok," tukas ibu itu. Membuat One melongo tanpa suara.

"Saya, kan, belum bilang apa-apa, Bu."

"Kalau masalah gaji indak usah khawatir. Saya gaji kamu sesuai UMR," terang sang ibu seakan membaca pikiran One. "Ba a? Kamu mau tidak?"

"I-iya, Bu. Saya mau."

"Besok datang ke sini pukul 7 pagi."

"Baik, terima kasih, Bu," ucap One dengan senyum merekah di bibir. Mungkin ini bukanlah pekerjaan yang diharapkan seorang lulusan sarjana sepertinya. Tapi setidaknya ibu pemilik rumah makan ini adalah penyelamat One ketika 99 perusahaan membuatnya pulang dengan gigit jari.

12 Juli 2017

Uda One : Daily Life of Penjaga Rumah Makan PadangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang