Dan Vanya sama bang Taeil masih kejebak macet di jalan. Berkali-kali bundanya nelpon tapi tetap saja jawaban Vanya sama "masih macet ma..".
Ingin rasanya Vanya punya sayap dan segera terbang ke rumah Mark.
Well, acaranya diganti menjadi di rumah Mark. Dan pastinya bikin Vanya syok setengah mati.
"Jangan gugup"
"Kagak"
"Ya udah"
Taeil memarkirkan mobil di halaman depan garasi.
"Ayo masuk"
Vanya cuma nurut aja. Rumahnya besar pastinya baru selesai di bangun.
"Malam tante.."
"Loh Taeil yaa.. dan—"
"Vanya tante"
"Vanya? Wahhhh kok udah besar gini. Ah bentar Tante panggilin Mark dulu"
"Eh iya tante"
"Markkk"
"Iya mah bentar"
"Tunggu di taman belakang aja Van, nanti tante sama Mark nyusul kok"
"Iya tante"
"Bang lo ga ke taman?"
"Bentar mau bantu-bantu dulu"
"Gue juga mau—"
"Engga udah ke taman belakang aja duluan"
"Iya iyaa ga usah dorong gitu juga"
Vanya dengan berat hati berjalan ke taman belakang. Tapi ketika tiba di undakan tangga, langkahnya berhenti. sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang tengah telepon.
"Iya ah bawel amat sih. Gua udah sampe. traktir.. traktirr mulu pikiran lo. Uang lo menipis emangnya? Gua sehat, iyaa.. udah ah gua mau ke bawah. oke"
Vanya mendongak dan di sana ada Mark yang menatapnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dunia terasa berhenti. Dan Vanya tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang ada di depannya ini adalah pahatan Tuhan yang sempurna.
"Udah besar ya, apa kabar?"
Vanya mengerjap. Lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan Mark. Padahal banyak banget yang ingin Vanya tanyakan kepada Mark.
"Kok diam?" Mark mencoba mendekat tapi Vanya mundur.
"Ah, i'm sorry"
Mark yang baru sadar akhirnya hanya terdiam. Dia hanya menatap Vanya yang kini sedang menunduk.
"Van..."
"Vanya, kok uluran tangan Mark ga dibales?"
Vanya menoleh. Taeil tengah memandangnya dengan dahi berkerut.
