CHAPTER 2 : Awal yang Seharusnya

104 7 0
                                    

Krrrriiiingggggg..... ndddrrrrttttt  nddrrrrtttttt  ndddrrrttttttt.......

Aku seketika membuka mata, begitu kumendengar suara getaran alarm ponselku. Napasku masih terengah, keringatku bercucuran. Jantungku berdegup berkali-kali lipat lebih cepat. Pandanganku pun masih belum jernih benar, namun tetap kucoba untuk menatap sekeliling. Kulihat dengan samar jam dinding itu. Foto-foto yang menggantung. Juga sticker-sticker yang tertempel di sekitarnya.

Tunggu. Apakah ini studio?

"Leader....! Kau sudah bangun?" Suara seseorang yang kukenal seketika menambah rasa terkejutku.

Raino? Apa itu benar-benar Raino?? Jadi... aku benar-benar berada di studio?!? Tapi... bagaimana bisa???

Aku segera bangkit dari posisi tidurku, kembali menatap sekeliling untuk memastikan penglihatanku. Rupanya aku memang tidak salah melihat Raino yang kini sudah kembali sibuk dengan 'Goldie', bass kesayangannya.

"Hei, Blue! Jika aku menang, maka kau harus berikan nomor telepon kakakmu padaku!"

"Kau hanya akan berakhir dengan patah hati, Kakak! Karena aku pasti akan memenangkan game ini! Jadi kau kubur saja impianmu itu!"

Sementara di sudut ruangan juga masih kulihat Free dan Blue yang melakukan peperangan sengit lewat game dalam ponsel mereka, seperti biasa.

Lalu...

"Noha...." Wajah Day yang tiba-tiba muncul tepat di depan mataku seketika membuatku terlonjak. Dan setelah melihat Day, kurasa penglihatanku memang masih waras.

Aku memang masih berada di dalam studio.

"Apa kau mimpi buruk lagi? Eih... kenapa belakangan kau jadi sering bermimpi buruk seperti ini..." Lanjutnya sembari beranjak duduk dan mencomot roti yang dibawanya.

Setelah mendengar ucapan Day tersebut, kurasa pikiranku juga benar.

Bahwa ledakan yang terasa menyakitkan itu, hanya mimpi belaka.

"Ehm! Bagaimana anak-anak? Apa waktu istirahat kalian sudah cukup? Bisa kita lanjutkan lagi?" Ucap Manager sembari memasuki studio. Ia lalu bergegas menarik kursi miliknya dan duduk menghadap ke arah kami.

"Manager! Kenapa kau duduk dengan posisi seperti itu??" Tanya Day dengan mulut yang masih penuh roti.

Aku pun bergegas membenarkan posisi dudukku. Jika manager sudah seperti ini, biasanya ia hendak menyampaikan sesuatu.

"Hei, Guys! Hentikan semua kegiatan kalian dan fokuslah mendengarkan Manager!" Perintahku pada seluruh anggota band 'Satu Detik' yang terlihat masih sibuk dengan urusan masing-masing.

Free dan Blue lantas bergegas mematikan ponselnya. Raino berhenti berpacaran dengan 'Goldie'. Sementara Day segera menelan roti yang sebenarnya belum ia kunyah seluruhnya.

"Terimakasih, Noha..." Manager tersenyum simpul. "Baiklah, kalau begitu langsung saja. Aku akan menjelaskan sesuatu yang penting, terkait dengan proyek besar yang akan kalian kerjakan."

Kami seketika terkejut.

"Proyek... besar???"

"Apa kita akan membuat sebuah album???" Tanya Free dan Raino bergantian.

"Tidak, bukan itu. Proyek besar kali ini, tidak ada kaitannya dengan musik sama sekali. Tapi tentu masih berkaitan dengan band kalian."

Kami bertambah heran.

"Manager, bisakah kau langsung saja menjelaskan inti masalahnya?" Tanyaku sedikit tidak sopan. Aku memang bukan tipe orang yang suka berbasa-basi.

Manager tertawa halus mendengarnya.

"Baiklah, Noha. Jadi begini,..."

Kami pun segera menyimak dengan saksama.

"Proyek besar yang akan kalian kerjakan adalah..." Manager menghela napas sesaat, sengaja benar membuat kami penasaran. "Kalian harus menemui fans rahasia kalian yang selama ini ada dan tersembunyi di kampus kalian sendiri."

Kami sempurna melongo menatap Manager kami yang sekarang bahkan mampu tersenyum lebar tanpa dosa.

"T-t-tapi..."

"Manager sebenarnya apa maksudmu???" Raino menyahut, menanyakan dengan jelas apa yang sebelumnya juga ingin ditanyakan oleh Blue.

"Apa maksudku? Bukankah sudah jelas apa maksudku? Kalian harus menemui fans rahasia kalian, lalu berteman dengan mereka..."

"Tapi kenapa kami harus melakukannya, Manager?" Kini giliran Day yang sudah tak sabar memotong kalimat Manager.

Kemudian beliau mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat pada kami. Kami pun turut mendekat juga.

"Apa kalian... sama sekali tidak ingin tahu? Kira-kira siapa saja yang selama ini menyukai kalian dengan tulus, tapi mereka memendamnya dalam hati mereka sendiri. Mereka ingin mendekat, namun mereka tidak memiliki keberanian bahkan untuk sekadar menatap. Kalian juga tahu bukan, bahwa memendam perasaan bukanlah sebuah perkara yang mudah untuk dilakukan."

Kami seketika terdiam. Penjelasan Manager kali ini benar-benar serupa petuah yang tentu tidak bisa begitu saja kami abaikan.

"Lantas, apa yang harus kami lakukan, Manager?" Aku berucap kemudian, mengisyaratkan bahwa aku akan dengan senang hati melakukan proyek ini.

Dan jika aku mau, maka seluruh anggota Satu Detik juga harus melakukannya.

"Jika kalian benar-benar setuju, akan kuberitahu secara pribadi nama dan tempat dimana kalian bisa menemuinya. Setiap satu orang akan mendapat satu penggemar rahasia."

Kami kembali melongo. Cukup sulit memang untuk mencerna kenyataan yang hendak kami hadapi saat ini.

"Bahkan.... kau memberitahu nama dan tempat mereka secara pribadi pada kami??"

"Itu berarti... aku tidak akan tahu siapa penggemar rahasia Free dan begitu pula sebaliknya?"

"Sebegitu rahasianya kah, Manager??"

Raino, Day, dan Free bergantian memberikan respon mereka.

"Benar. Karena mereka penggemar rahasia, maka cara yang harus kalian tempuh untuk menemui mereka pun juga harus rahasia."

"Tapi... toh nanti setelah kita curhat ini-itu, kita juga akan kenal dengan penggemar satu sama lain bukan?" Ucap Blue yang seolah ingin mengatakan bahwa mulut kami memang tidak bisa diajak berkompromi (baca: ember). Hanya dalam lingkup Satu Detik saja tapi. Toh kami tidak akan membawa ember kemana-mana juga.

Day seketika tertawa mendengar ucapan Blue.

"Kau memang harus segera kuangkat menjadi adik, Blue!"

"Eeeiiissshhh....! Dia akan menjadi adikku setelah ini..." Free menggantungkan kalimatnya sesaat, "Adik ipar maksudnya..."

Raino langsung menimpuknya dengan bantal.

"Jadi, bagaimana keputusan kalian? Kalian benar-benar mau untuk melaksanakan proyek ini?" Manager kembali membuka suara.

"Kalau Pak Ketua sudah bilang 'ya', lantas kami bisa apa?" Ucap Raino. Aku tertawa dengan jahannamnya.

"Kalau begitu, kalian satu persatu langsung menemuiku di ruang kerja setelah ini."

"Tapi, Manager..." Aku kembali menahan langkah Manager. Ia menatapku sejenak.

"Siapa yang pertama kali akan bertemu dengan fans rahasianya?"

Manager lantas tersenyum, dengan jawaban yang masih tersimpan di kepalanya.

"Aaiiihhhh Kakaaakkk.....! Kau membuat kami menjadi lebih penasaran lagiiiii....!!!!" Free seketika menimpukku dengan bantal yang tadi sempat digunakan Raino untuk menimpuknya.

Aku tertawa.

Aku tahu mereka sedang gelisah menanti giliran. Mereka terlalu nervous untuk menghadapi kenyataan.

***


One Second For A Moment (Day6 Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang