"Tugas gue ada dua. Membanggakan bunda dan membahagiakan lo."
※※※※※
Jitakan keras baru saja mendarat dengan mulusnya di kepala Davka membuat Davka memekik keras sembari mengelus kepalanya berusaha untuk menghalau rasa sakit yang semakin bertambah.
"Kok adek dijitak sih, bang?!"
"Habisnya lo bodoh banget sih?!"
"For your information, abang Raehan yang terhormat. Seseorang yang bernama Davka Adhikari yang tidak lain dan tidak bukan adalah seorang adik anda ini adalah peraih juara umum dengan perolehan nilai terbaik di sekolah. Jadi, gue gak bodoh!" ujar Davka dengan senyum kemenangan.
"Iya, lo gak bodoh. Cuma bego."
"Ih abang mulutnya kotor."
"Lagian lo ngapain coba malem-malem bukannya belajar terus tidur malah berenang?! Mana ada orang pinter berenang malem-malem mana dalam kondisi gerimis lagi. Lo mau cari mati?!"
"Weitz, calm down abang. Gue kan cuma mau berenang biar ga stres. Mana tau gue kalo bakalan hujan. Lagian juga gue cuma demam oke? Gak bakalan mati." Davka berdecak lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela yang sudah memunculkan sang mentari di sana. "Lo aja yang lebay."
"Heh sapi! Dengerin gue ya. Lo sama kertas HVS aja bisa luka. Gimana gue mau bisa tenang kalo lo demam begini? Apalagi demam lo ini 39.5° hampir 40 Dav!"
"Udah bang udah sabar. Iya gue minta maaf, oke? Udah sana berangkat sekolah. Gue janji, besok gue bakalan sembuh. Gue janji sama lo."
Raehan tidak menjawab dan lebih memilih untuk pergi begitu saja dari kamar Davka.
"Tepati janji lo itu, Dav. Atau gue gak akan bisa memaafkan diri gue sendiri."
*****
"Kamu yang gak becus didik anak!"
"Apa pedulinya kamu dengan anak kamu? Pulang aja jarang! Harusnya kamu ngaca!"
PRANG!
BRUK!
PLAK!
Di pagi hari yang cerah sebagian besar orang mungkin lebih memilih untuk mendengarkan radio atau musik. Tapi berbeda dengan rumah Afreen. Musik inilah yang sering didengarnya setiap hari.
Suara barang-barang yang pecah, teriakan, hingga makian sudah akrab di telinganya. Inilah salah satu hal yang membuat Afreen selalu datang sangat pagi. Ia tak ingin mendengar hal seperti ini. Tanpa mengucapkan salam atau sekedar sarapan, Afreen melangkah keluar dari rumah untuk berangkat sekolah.
Namun langkahnya terhenti oleh seseorang lelaki yang mengenakan piyama berwarna biru polos tanpa mengenakan sendal. Napasnya memburu dengan keringat sebesar jagung membasahi keningnya. Kedua matanya sesekali melirik ke kanan dan ke kiri. Jelas sekali ia sedang merasa gelisah dan......takut?
"Davka. Lo—" ucapan Afreen terhenti kala Davka menariknya kembali masuk ke dalam pekarangan rumah Afreen.
"Ssst diem," ujarnya dengan terlebih dahulu menarik Afreen di belakangnya. Kini tubuh mereka berdua tertutupi oleh pagar rumah Afreen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seharusnya ✔
Teen Fiction"Seharusnya lo gak begini. Seharusnya-" "Seharusnya seharusnya seharusnya. Berhenti bilang seharusnya karena gak semua hal berjalan sesuai logika lo." *** [Completed] Higest Rank #193 (5 Desember 2017)