Sebulan lebih sepuluh hari berlalu. Sejak itu pula Devin sering sekali tidak masuk sekolah. Mungkin hanya seminggu dua kali ia masuk. Waktunya telah ia habiskan di ruangan ini, ruangan bernuansa putih yang berbau khas obat-obatan.
Sheila duduk di samping Devin yang sedang terpejam. Sejak hari itu ia memutuskan untuk menguatkan hatinya. Ia terus datang ke rumah sakit dan terus mencoba mengobrol dengan Devin. Meski tanggapannya, ya, diacuhkan.
Tapi sudah lima hari ini Devin terus berbaring disini, tak bergerak. Dokter bilang, keadaannya semakin parah. Percuma saja ia masuk sekolah. Toh, pelajaran yang ia dapat akan melayang begitu saja.
Sheila menyeka air mata yang tadi sempat menetes. Ia harus terlihat ceria kalau tiba-tiba Devin bangun. Ia tersenyum dan menggenggam tangan Devin.
Ia menunduk, merasakan ada yang bergerak ia buru-buru mendongak dan melihat cowok itu bangun. Senyumnya merekah, meski sebenarnya ia ingin menangis lagi melihat Devin yang seperti ini, tak berdaya.
Devin melirik Sheila, tatapannya bingung. Tapi Sheila sudah biasa mendapat tatapan itu, bahkan ia sudah kebal. Ia menopang dagunya dengan telapak tangannya. Sedikit mendekat ke wajah Devin.
"Hai Dev, gue Sheila, dan gue sayang sama lo." ucapnya dengan nada polos.
Bersamaan dengan itu, Dion yang hendak membuka pintu pun urung, memilih membiarkan mereka berdua. Ia menatap Sheila dengan tatapan kagum. Dia cewek yang hebat.
"Gimana?" ujar Vien yang sudah berdiri di belakang Dion.
"Devin udah sadar dan.." Dion menghela napas sejenak "Lo tau kan apa yang diucapin sama Sheila setiap Devin natap dia."
"Hai Dev, gue Sheila, dan gue sayang sama lo." Ucap Vien menirukan gaya bicara Sheila. Ia pun terlihat sedih.
"Kenapa mereka jadi kaya gini sih?" tambah Vien lagi.
"Ini udah takdirnya, mending kita kasih waktu lebih banyak buat mereka berdua." ujar Dion dan langsung disetujui dengan anggukan Vien.
"Lo siapa? Jangan deket-deket." ucap Devin dan sedikit menjauhkan kepalanya, ia terlihat sangat lemah dan Sheila tidak suka itu. Kemana Devin yang bertingkah aneh dan selalu mengganggunya?
"Mau lo usir gue, gue tetep bakal disini untuk nemenin lo, karena gue sayang sama lo, dan gue gak akan nyia-nyiain waktu lagi."
Devin kelihatannya tak berniat berbicara gadis di sebelahnya. Ia melihat ke arah jendela di sebelah kirinya.
Sheila terus menatap wajah Devin dalam diam, ah.. jika saja waktu bisa diulang. Jika saja ia tak terlambat menyadari perasaannya.
"Sheila!" Mendengar suara panggilan itu Sheila menoleh, disana ada dokter Reza -dokter yang menangani Devin- . Devin pun ikut menoleh.
"Bisa ke ruangan saya sebentar?" Meski terlihat enggan tapi Sheila harus kesana, mungkin ada hal yang penting menyangkut Devin.
Sebelum beranjak, Sheila menatap Devin sekali lagi. Cowok itu nampak sedang berpikir. Sheila tersenyum dan mengelus puncak kepala Devin.
"Nanti gue balik lagi." Sheila kemudian berjalan mengikuti dokter Reza dan saat sampai di pintu, ia melambaikan tangannya sambil tersenyum.
"Daaahh.. Cowok anehh!!" Ia sempat terkekeh lalu perlahan menutup pintunya.
Dan itu adalah kesalahan terbesar Sheila.
Karena saat itu, saat Sheila menutup pintunya,
Kepala Devin merasakan sakit yang menjalar begitu hebat.
× × ×
Happy Reading okeeeii😙
Yah yah Devin kenapaa😟
Salam, Mel💘
KAMU SEDANG MEMBACA
My Fault
Short StoryKenapa penyesalan selalu datang di akhir? Pertanyaan yang sama. Setiap hari. Setiap bayangmu selalu mengisi pikiranku. Hanya bayangmu. Tanpa hadirmu. Tak seperti dulu. Bukan ini yang ku inginkan, aku harus bagaimana?