Selama bersama Bara, ia habiskan dengan permainan basket. Bara selalu memaksa dirinya untuk memasukan bola besar itu ke ring. Benar-benar pemaksaan. Namun, ia menyukainya. Karena basket, Bara berada disampingnya.
Sejenah, Bia memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, seusai mandi. Wajahnya sudah bisa tersenyum lagi seperti dulu. Seperti saat-saat Brian masih bersamanya. Walau menjengkelkan, ia menyukai Bara. Cara Bara membuatnya tersenyum sekaligus jengkel. Ia merasa, Bara bukan orang yang akan mengatakan perasaannya begitu saja. Ia bahkan mengakui gengsi Bara terlalu tinggi dibandingkan dirinya. Gak habis pikir. Tetapi, dengan caranya sendiri, Bara bersedia berada disisinya.
Hanya saja perkataan Bara masih mengganjal dalam benaknya. Ia bahagia bersama Bara. Hanya saja, ia tak dapat melihat kebahagiaan Bara yang sebenarnya. Meskipun Bara tertawa, ia tak dapat merasakan Bara merasakan kebahagiaan yang sama.
Bia lantas berjalan duduk di tepi kasur hanya untuk mengambil sebuah foto yang ada di meja nakas. Sepetak foto ia dan Brian saat masih bersama.
Bia begitu ingin menceritakan semua perasaannya pada Brian. Meminta Brian mencari kebenaran yang sebenarnya. Jika Bara terpaksa bahagia dengannya, itu berarti ia egois. Namun, Bara tidak mengatakan apapun. Hanya saja tiba-tiba menjadi bagian dalam kisah hidupnya.
"Abang pasti udah bahagia disana kan?!" ucapnya sendiri sambil memandangi wajah Brian.
Selalu saja air mata akan menetes saat menatap wajah Brian. Lalu tersenyum kecil saat mengingat cara Brian yang selalu memanjakannya. Bahkan ia selalu mengingat, Brian akan melakukan apapun agar Bia berhenti menangis. Brian paling tidak suka kalau melihat ia menangis. Katanya air mata Bia terlalu berharga. Kalau dibuang bakalan menjadi sia-sia.
Jika saja Brian masih bersamanya, ia mungkin tidak akan seluka ini.
Jika saja Brian masih bersamanya, ia mungkin akan merasakan sentuhan tangan Brian menghapus air matanya.
"Abang tau, Bia kangen banget. Bia pengen ketemu abang. Tapi gak bisa. Bia pengen denger abang nyanyi lagi. Bia kangen cafe yang selalu abang datangi. Tapi Bia gak berani datang. Karena gak ada abang." Ucapnya pelan hingga membiarkan air matanya mengalir begitu saja. "Andai aja kejadian itu gak ada, abang gak bakalan pergi. Karena kejadian itu abang ninggalin Bia. Semuanya salah Bia. Bia yang menyebabkan abang pergi ninggalin Bia. Maafin Bia, bang. Bia udah salah. Bia benar-benar minta maaf. Gara-gara Bia, abang gak bisa mencapai impian abang. Bia penyebab abang pergi. Maafin Bia..." lalu ia menangis terseduh. Membiarkan kamarnya terisi oleh kenangan tentang Brian.
Bahkan burung kertas yang selalu ia buat, Bia lekatkan di langit-langit atap dengan tali pengikat. Burung kertas yang Brian ajarkan.
"Seandainya lo bahagia atau sedih sekalipun dan gue gak ada. Lo perlu tulis semua perasaan lo di kertas. Terus buat kertas itu jadi burung kertas. Biar burung itu menerbangkan semuanya ke langit. Agar kebahagiaan elo bertambah dan kesedihan lo berkurang. Lo paham kan, Bian?"
Ia masih menangis sambil memeluk foto itu. Merasakan bahwa rindu semakin membuat lukanya melebar.
Hingga kenangannya bersama Brian kembali berputar dalam memori. Seperti bentuk video yang berputar dalam beberapa menit dan ia melihatnya dengan jelas.
***
Ia memperhatikan beberapa burung kertas yang bergantung di langit-langit atap. Ada beberapa perasaan yang ia tulis di atas sana. Kebanyakaan tentang kesedihan. Karena ia berharap, kesedihan akan berkurang seperti kata Brian.
Ia menghela nafasnya. Perasaannya sudah sedikit membaik setelah menangis.
Bia melihat sudah hampir pukul delapan. Sudah waktunya makan malam. Jika selama ini Bia selalu menghindar, kini ia tak ada alasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling
Teen FictionTentang rasa yang terikat pada takdir. *** By vebia Highest rank #26 melupakan Highest rank #7 musibah