21. The Mysterious Pen
Dave memutar satu benda di sebelah tangannya dengan pelan. Meskipun Mrs. Fred belum selesai menerangkan materi History di depan kelas, pikirannya telah jauh melanglang buana.Ia tak dapat melepaskan tatapannya pada benda yang dipegangnya. Satu alasan mengapa ia malah terpaku hanya karena sebuah pulpen adalah karena benda itu tidak biasa.
Pulpen itu memiliki nama ukiran di tangkainya.
Sederet huruf latin bertinta emas tercetak jelas membentuk kata Luwina di sana. Dan ia tahu seseorang yang bernama Luwina telah berada di ruang musik hari itu tanpa sepengetahuannya.
Dave menarik napas panjang. Ia lekas tersadar dari lamunan karena teman sekelasnya yang lain telah berhamburan ke luar ruangan. Jam pelajaran telah habis.
Ia berpikir sejenak, masih memperhatikan lekat pulpen hitam tersebut.
Jika memang pemilik pulpen ini berada di ruang musik siang kemarin, kuat dugaannya Luwina ataupun pemilik pulpen ini akan ke tempat itu lagi mencarinya.
Dave menatap lurus ke arah pintu yang telah kosong dan mulai berdiri meninggalkan kelas.
Ia tahu harus berbuat apa untuk memancingnya.
***
Megan menarik napasnya yang bergetar.
Hari Senin telah datang, menyisakan weekend terburuk juga jejak suara menjijikkan dalam telinganya dan misteri kelam hidup Claire.
Ia tidak dapat tidur nyenyak semalam. Ada dua hal yang mengganggu pikirannya; ayahnya yang tadi pagi bertingkah seakan tak terjadi kesalahan dan pulpen kesayangan hadiah ibunya menghilang.
"Meg, what's wrong? Dari kemarin aku pulang dari rumahmu kau selalu mendengus kesal. Apa yang terjadi?" bisik Steph yang duduk di sampingnya. Nyatanya masih ada guru di depan kelas tidak membuat Steph berdiam diri.
"Pulpen kesayanganku hilang." Megan berkilah. Tidak sepenuhnya berbohong karena ia memang kehilangan benda itu.
"Hmm? Kau kan masih punya yang lain," saran Steph, ia bahkan mengeluarkan satu kepunyaannya pada Megan.
Megan menggeleng, menatap Steph, "Itu... punya ibuku, Steph."
Steph ber-ah panjang lalu menggigit bibir. "Kau ingat dimana melupakannya?"
"Aku pikir aku menjatuhkannya di ruang musik."
Steph berpikir sejenak, "Ruang musik? Kau yakin? Untuk apa kau kesana?" tanyanya penasaran.
"Egghh, aku," Megan menggaruk keningnya sebentar. "Aku hanya melihat-lihat kemarin. Mungkin saja terjatuh di sana, Steph."
Steph mengangguk percaya, "Baiklah. Lebih baik kita mencarinya bersama setelah ini, oke?"
"Baiklah, thanks Steph." Megan kembali membaca buku pelajaran di depannya, meskipun matanya menyapu satu persatu kata, pikirannya telah jauh menerawang.
***
Steph dan Megan berhasil keluar melewati pelajaran terakhir setelah bel istirahat berbunyi. Diana dan Claire berada di kelas lain. Steph menarik tangan Megan ke ruang musik dengan terburu-buru.
"Steph, kau yakin?"
Steph menghentikan langkah sebelum membuka ruangan itu. "Aku rasa tidak apa-apa karena tidak akan ada orang di dalam. Lagipula ini hanya ruang musik, bukan?"
"Ba-bagaimana kalau seandainya ada orang?" tanya Megan ragu. Ia tak boleh terlihat di depan Dave.
"Megan!!!" Steph menatap kesal sahabatnya, "Demi Tuhan, kita hanya mencari pulpen, bukan mencuri. Tidak akan melanggar sesuatu. Ayo."
Jantung Megan berdetak kencang ketika pintu terbuka. Ia menutup matanya sejenak, menunggu beberapa saat.
"Hey, masuklah. Tidak ada siapa-siapa," ajak Steph.
Saat namanya dipanggil, Megan menghela napas dan masuk seutuhnya. Ia melihat Steph yang telah sibuk membungkuk melihat lantai dengan hati-hati.
Benar tidak ada orang. Kemana Dave?
Megan perlahan menuju piano klasik hitam di sana. Rapi. Tidak ada tanda-tanda telah terpakai padahal biasanya Dave sudah ada di sini.
Megan memutuskan untuk bergegas mencari sebelum Dave datang. Tapi nihil, ia sudah mencari di seluruh ruangan bahkan di tempatnya bersembunyi dulu. Tidak ada. Pulpen itu hilang.
"Aku tak melihat apapun, Megan. Kau yakin menjatuhkannya di sini?" tanya Steph sedikit kecewa.
Megan mengangguk yakin, tanpa keraguan sedikit pun. "Hmm, aku yakin Steph."
"Kalau begitu, mungkin pembersih ruangan tahu. Aku yakin mereka membersihkan ruangan ini sehabis pulang sekolah," ucap Steph.
"Terima kasih, Steph. Kau tak perlu repot mencarinya lagi. Aku pikir benda itu sudah hilang." Megan kecewa sebenarnya, tapi semakin lama mereka di sini, semakin berbahaya buatnya.
"Lebih baik kita pergi," tawar Megan.
Steph mengangguk setuju, "Sorry, Megan. Aku juga harus pergi menemui Taylor sekarang. Tampaknya ia berbuat ulah lagi." Taylor yang dimaksud adalah kakak laki-laki Steph yang terkenal bandel di sekolah.
Steph mengecek ponselnya dan mengangkat telepon seseorang. "Hey, bersabarlah. Aku akan ke lapangan sekarang." Ia berlari menuju pintu sambil melambaikan tangannya pada Megan.
"Bye."
Sekarang Megan sendiri.
Ia menatap ruangan itu sekali lagi sebelum melangkah keluar. Dalam hati ia sedih karena harus kehilangan benda penting peninggalan ibunya.
Dengan pelan ia menutup pintu dan melangkah pergi.
Baru beberapa langkah menjauh, ia dikejutkan oleh suara yang memanggilnya dari belakang. Megan mengernyit bingung, bukan namanya tapi nama ibunya.
"Luwina?"
16072017
Jangan lupa votenya kalau suka. Makasih.
With Love
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Feelings (Semua Orang Punya Luka)
Short Story#TrueShortStory Some feelings are left unsaid. Megan dan Owen adalah sahabat sejak kecil. Saat hubungan mereka semakin akrab, Megan yakin menyukai Owen, secara diam-diam. Ia menyimpan rasa sukanya itu untuk waktu yang lama. Tapi sayang sekali, sahab...