Prolog:
Aku melangkah tanpa henti
Sampai kurasa aku hampir mati
Aku mencari di semua sisi
Air, jalan, jembatan, mungkin mereka mengenalku..
Kupasangkan lagi mandau itu ditempatnya. Terlihat lebih bersih dari sebelumnya. Perlahan kusentuh susunan manik-manik warna-warni berpola itu, dan bunyi gemerincing terdengar saat gigi-gigi kerbau itu beradu satu sama lain. Bunyi yang sangat kusuka, dan menggingatkanku padanya.
Kadang hidup tak memberikan manusia kesempatan. Dia terlalu asyik melenggang mengikuti garis takdirnya. Tak peduli dibelakangnya manusia terseok-seok mengikuti jejak arahnya, yang dalam sekali kedipan mata akan bisa tersapu angin, hingga hilang selamanya.
Mungkin. Mungkin benar. Bila kesempatan selalu berbaik hati menghampiri, bukankah warna-warni hidup tak kan pernah ada? Mungkin hanya ada hitam dan putih, salah dan benar. Tak ada warna pink, kelabu, biru terang ataupun warna-warna abstrak yang susah didefinisi.
Bagiku hidup seperti mandau ini. Luarnya berbalut manik-manik, tersusun demikian cantiknya. Namun keindahan itu hanya sampul yang suatu ketika akan tak berarti. Hilang, bila dia terhunus. Saat itu siapapun akan menghindarinya, siapapun akan membencinya dan ingin jauh-jauh darinya.
Dua bulan kemarin kutemukan selembar kertas kusam di laci lemari ibu. Warnanya kecoklatan, hampir patah menjadi empat bagian karena terlalu lama dilipat. Menunjukkan kertas itu sudah disimpan belasan tahun. Isinya sempat membuatku kepikiran beberapa lama. Namun segala rutinitas membosankan itu –bangun, makan, mengamati televisi, membersihkan rumah- berhasil megalihkanku. Hingga terlupakan sama sekali.
Mungkin ada untungnya hidup berlalu tanpa kompromi. Karena kau bisa meninggalkan kenyataan-kenyataan suram dibelakangmu. Menimbunnya, menjaganya dari cekeran ayam yang tak tahu diri.
Namun malang, aku sendiri yang telah mengaisnya, walau tanpa sengaja. Dan aku tak bisa berhenti membiarkan kepingan puzzle itu tak bberteman. Aku mengais-ngais lagi. Setiap tempat, segala sudut memori, mencari puzzle-puzzle yang bisa menunjukkan siapa aku.
Lembaran usang itulah yang membuatku terdampar disini. Di alam Dayak yang eksotis dan penuh misteri. Mencari kepingan demi kepingan. Hitam, putih, merah, jingga, yang terrtimbun mulai ujung timur pulau Jawa, tergeletak berkilauan di palung Laut Jawa hingga ujung utara pulau burung.
****
“Kau mau kemana?”
Suara serak milik Ima, sepupuku, mengusik. Tangannya bersedekap, tubuhnya bersandar di kusen pintu. Matanya seakan mengatakan, ‘tuh kan, sudah kuduga sejak awal kau pasti melakukan hal itu..’.
Akhir-akhir ini dia menyebalkan sekali. Dan itu berkaitan dengan obsesinya yang parah mengenai teori Pembebasan-Wanita-dari-Cengkeraman-Perbudakan, yang menurutnya berwujud rutinitas dapur, sumur, kasur.
Aku hanya memandangnya sekilas. Percuma meladeni pancingannya, hanya akan membuatku pagi ini sarapan ide-ide khas genderis tentang revolusi budaya patriarki. Tak jarang pula dia mengutip pernyataan sakti Aquinas tentang persamaan proporsioanal.
“Masihkah kau berkutat pada acara-acara yang tak jelas arahnya itu? Menghambur-hamburkan waktu untuk mengurusi Bushman konyol yang suka memerintah perempuan seenak jidatnya..” katanya kejam. Kal ini dia pindah ke meja belajarku. Tanggannya membuka-buka Social Dimension of Law and Justice-nya julius Stone, yang dikepitnya kesana kemari.
Bau tumis udang jeruk bikinan budhe melonjakkan lagi selera makanku. Wanginya menguar saentero kamar. Udang selingkuh dibumbui cabe, bawang merah, bawang putih, lada, pala, ditumis deenga irisan jeruk dan kacang goreng, tanpa bumbu tambahan. Seisi rumah ini telah sepakat bahwa MSG tak coocok diterapkan pada komunitas yang ingin selalu hidup lebih lama.
“Kalau kau biarkan saja perempuan-perempuan itu tanpa pencerahan, mereka hanya akan beranak terus setiap tahun, karena tak ada kesibukan selain itu. Lelaki gampang saja, tinggal tiap hari pergi ke ladang atau jadi kuli pasir, beres urusan. Tak mau tahu perempuan pusing membagi jatah makan belasan anak. Mana kuat sekolahkan anak, mereka miskin, miskin! Jadi bukankah program ketrampilan wanita itu urgent? Aequalitatis modum, kesamaan proporsional..”
Ima menutup kalimat panjangnya. Jelas terlihat dia pengagum berat murid Albertus Magnus di abad 13 itu, dan pastinya dia senewen dengan pak Laode, kepala suku dari pedalaman Loa Ulu yang rencananya akan meminang gadis dari Loa Pari. Padahal lelaki berumur 65 tahun itu sudah punya tiga istri dan 17 anak.
Rupanya diskusi semalam yang terpotong akibat lampu padam ingin dikobarkan lagi di meja makan. Yeah, wajar sih, PLN di pulau ini sedang kembang-kempis menjalankan program demi program penghematan karena fluktuasi harga bahan bakar. Masyarakat yang tak mau ambil pusing menganggap saran wakil-wakil mereka sebagai bunuh diri dan pengekangan hak asasi. Hingga sudah tradisi bila tiap dua hari sekali akan dilakukan pemadaman. Tak cuma di wilayah pemukiman, instansi pemerintah dan museum juga mengalami nasib yang sama.
Budhe Is hanya tersenyum mendengar statemen putri bungsunya. Entah mengerti entah tidak, yang penting mahasiswi Hukum Mulawarman itu sudah memakai istilah dan bahasa yang aneh-aneh. Itu cukup membuktikan bahwa dia sekarang lebih pintar. Yeah, sindrom Epizoootic of the Blowhole.
Hari ini aku berencana ke Tenggarong. Aku sudah jauh-jauh hari memesan sepuluh kilo koran bekas untuk keperluan membuat APE. Selain untuk menegaskan bagaimana seharusnya memperlakukan cetakan-cetakan berisi kebohongan itu secara layak. Ya, sebagai sampah, yang harus di- upgrade hingga lebih bermmannfaat.
Ima terus mengoceh tentang Iustitia Generalis sampai berbusa. Matanya menantangku untuk memberi sanggahan. Karakter dasar seorang calon ahli hukum, suka memprovokasi.
“Hukum alam itu riil..” lama-lama aku tak tahan juga terus dianggap pengikut Bushman gila yang selalu mengukur luas tanahnya seminggu sekali itu. Mata Ima menyipit.
“Pada manusia bisa dilihat dari dari kemampuannya mengenal apa yang baik dan buruk. Bonum est faciendum, malum est vitandum, yang baik harus dilakukan yang jahat harus dihindari..” budhe duduk disampingku turut menyimak. “Berdasarkan prinsip ini, termasuk aturan alam, misalnya manusia mencari kebenaran, bertahan hidup, menikah, mendidik anak-anaknya dan bermasyarakat..” kutelan suapan terakhir, piringku licin tandas. Budhe tersenyum senang. “Maka Iustitia generalis yang kau bilang tadi bukankah bagian dari teori tiga keadilan yang bersumber dari Ius naturale?” Ima tak jadi memasukkan suapan pertama ke mulutnya, “Konsepmu tentang gender tadi terlalu spekulatif, rasanya Aquinas tak menekankan sefrontal itu..”
Ima mengangkat alisnya manggut-manggut. “That’s great, darimana kau belajar?!” tanyanya antusias.
========
Please voment yaa...
Glosarium ada di part terakhir..
😊😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Sketsa Langit (Completed)
RomanceMengisahkan tentang pencarian seorang gadis terhadap orang yang sangat dibencinya, tapi juga amat dirindukannya..