Perempuan yang menggunakan jeans selutut dengan atasan kaos berwarna merah muda yang agak ketat di tubuh langsing nya itu mengetuk-ngetuk jari nya di meja restoran ayam cepat saji yang buka dua puluh empat jam. Pandangan nya lurus ke depan, menatap anak laki-laki yang umur nya setahun lebih muda dari nya.
Suasana restoran kali ini sangat sepi, hanya ada satu keluarga yang duduk jauh dari mereka. Maklum lah, sekarang sudah pukul satu malam. Keheningan terpecah ketika pelayan mengantar makanan tersebut, perempuan itu kemudian menyelipkan sedikit rambut nya di balik telinga.
Hal yang paling di sukai laki-laki di hadapan nya. "Lang, gue mau ngomong."
Gilang tidak menanggapi, memakan kulit ayam nya dengan cara kelewat santai. Tidak peduli kepada perempuan yang terlihat sangat gugup.
"Apa kabar?"
"Gausah bertele-tele, Ca." Gilang berujar dingin, mata nya tanpa mau repot-repot menatap perempuan yang ia panggil 'Ca' tersebut.
Erisca tersenyum kecut mendengar jawaban Gilang. Ia tidak pernah menyangka kalau Gilang akan berubah... sedingin ini. "I love you."
Seulas senyum muncul di wajah Gilang, tapi senyum itu tidak membuat Erisca lega, karena senyum itu sangat meremehkan nya. "Ciuh."
"Gue serius, kenapa pas lo pindah ke Jakarta, lo ga ngomong-ngomong ke gue?" Tanya Erisca, kalau di tanya apa yang sangat ia inginkan sekarang maka ia akan menjawab bahwa ia hanya ingin Gilang kembali pada nya.
Semua nya terlalu cepat berubah. Erisca tidak mau menerima nya. Erisca tidak mau menerima kenyataan kalau kini Gilang-nya bukan Gilang yang dulu. Erisca tidak mau menerima kenyataan kalau kini ia lah yang harus berjuang demi kisah cinta nya tersebut.
"Lang, we coud be something, right?"
Satu detik... dua detik... tiga detik. "Sekali lagi gue ingetin sama lo, kalo tujuan lo disini cuma buat balikin kita, lebih baik lo buang mimpi itu jauh-jauh. Karena lo, cuma masa lalu gue."
Gilang melengos pergi begitu saja, berlawanan dengan hati nya yang masih ingin bersama dengan Erisca. Laki-laki itu lagi-lagi mengumpat, merasakan tubuh nya di tabrak dari depan.
"Eh, sorry, sorry." Gilang mendecak sebal ketika tahu siapa perempuan yang tadi menabrak nya.
"Lah Gilang, gajadi minta maaf deh gue," ujar Grafisa sambil nyengir-nyengir yang malah tambah membuat Gilang muak.
Laki-laki yang mengenakan jaket hitam itu kemudian menarik tangan Grafisa keluar restoran cepat saji tersebut. "Eh, eh, gila mau ngapain lo! Gue belum beli ayam nya!!" Grafisa terus saja berontak, tapi tidak membuat Gilang melepaskan cengkraman nya.
Baru setelah memastikan Grafisa benar-benar duduk di dalam mobil nya, Gilang berjalan ke tempat kemudi dan menyalakan mesin mobil nya. Tanpa mempedulikan Erisca yang sedang menangis di dalam sana.
"Woy bangke, lo mau apain gue?!" Bentak Grafisa. "Lo harus inget kalo gue tuh anak taekwondo! Nanti belum kesampean lo apa-apain gue, lo udah babak belur duluan!"
Gilang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala nya tidak habis pikir. "Lang kita mau kemana?! Ih gue mau turun!!"
Tidak ada jawaban.
"GILANG KAMPRET! UDAH MALEM NIH GUE MAU PULANG!!"
Tidak ada jawaban.
"GILANG BERHENTIIN GA MOBIL LO?!"
Masih tidak ada jawaban.
Grafisa akhirnya membuka jendela mobil, lalu berteriak bahwa ia sedang di culik. Gilang menutup jendela nya secara otomatis, walaupun jalanan tidak ramai tapi tetap saja orang yang mendengar teriakan Grafisa tadi memusatkan perhatian nya ke Gilang.
"Tugas lo disini cuma duduk, dan dengerin apa yang mau gue omongin." Jawab Gilang lugas.
"Yaudah lo mau ngomong apa?" Desak Grafisa terburu-buru. Masalah nya sekarang sudah pukul satu pagi, dan bagaimana cara nya ia bisa sampai restoran cepat saji di depan komplek nya itu? Ia kabur, mungkin. Ia tidak izin apa-apa ke orang tua nya yang sudah tertidur lelap.
"Eiya Lang, itu tadi cewek lo ya? Kok di tinggalin gitu si?" Gilang tahu betul siapa perempuan yang di maksud oleh Grafisa sekarang.
"Nama nya Erisca, satu tahun di atas kita dan sekolah nya sama kayak kita juga. Dia mantan gue, pas masih tinggal di Surabaya bareng omah. Sejak gue sd, gue tinggal di Surabaya dan pas smp gue ketemu dia, she's my first love dan lo pasti tau kelanjutan nya kayak gimana. Gue jadian sama dia pas kelas delapan, dia kelas sembilan. Pas lulus, dia pindah ke Jakarta dan hubungan gue sama dia masih baik-baik aja. Ga lama setelah itu, Ghifari line gue dan bilang kalau dia punya demenan baru di sekolah yang ga lain adalah Erisca ini, dan menurut cerita-cerita dari Ghifari gue bisa ambil kesimpulan kalo Erisca nge-respon Ghifari.
"Oke akhirnya gue putusin dia--gue ngalah, tanpa ngasih tau alasan gue yang sebenernya apa. Sampai detik ini, Ghifari ga pernah tau kalau cewek yang selama ini dia suka itu pacar adik nya dulu. Erisca juga gatau kalo gue punya kakak dan kakak itu Ghifari."
"Masalah disini adalah---"
"Lo sebenernya belum ngerelain Erisca," potong Grafisa cepat. Anak perempuan itu kemudian bertepuk tangan sambil tersenyum. Gilang yang merasa hal itu aneh kemudian menepikan kendaraan nya di pinggir jalan, menunggu Grafisa mengeluarkan suara nya.
"Btw Lang, itu kalimat terpanjang yang pernah lo bicarain ke gue."
"Kampret," maki Gilang, laki-laki itu kembali menghidupkan mesin mobil nya. Grafisa benar, itu kalimat terpanjang yang pernah ia keluarkan selama tiga tahun ke belakang. Sekaligus kalimat terpanjang yang pernah ia keluarkan kepada orang yang tidak penting bagi nya.
"Nih ya Lang, sumpah kenapa kisah cinta lo ribet banget si?!" Gilang mengangkat bahu nya tidak tahu. "Kalo tekad lo buat relain Erisca emang udah bulat, cepat atau lambat pasti bisa kok. Kalo lo ikhlas, semua pasti bisa."
Grafisa kemudian membalikan tubuh nya ke kanan, menatap lekat wajah serius Gilang yang fokus pada jalanan. "Gue kalo sedih selalu peluk Mama gue, kalo lo mau meluk gue juga gapapa."
Gilang tersenyum, "modus."
"Dih yaudah kalo gamau." Grafisa kembali pada posisi nya, menatap jalanan di depan sambil menyentil mulut nya karena sering sekali bicara sembarangan. Jujur kali ini Grafisa sangat malu dengan apa yang ia katakan barusan.
Tapi lima detik kemudian mata Grafisa membulat sempurna, bersamaan dengan rasa hangat yang mendekap seluruh tubuh nya dan juga aroma yang aneh tapi begitu menenangkan. Grafisa tetap diam, tidak membalas pelukan Gilang.
Ia belum sepenuh nya sadar dengan apa yang Gilang lakukan saat ini. Ia terlalu sibuk mencemaskan apakah Gilang dapat mendengar detak jantung nya atau tidak.
Dari segala aspek, Grafisa dan Gilang jauh berbeda. Grafisa sangat menginginkan saudara kandung, sedangkan Gilang sama sekali tidak menginginkan kehadiran Ghifari. Kehidupan Grafisa berjalan sebagaimana mesti nya, sedangkan Gilang tidak. Grafisa tidak pernah sakit hati, sedangkan Gilang sudah kebal akan hal itu.
Inti nya, Gilang butuh seseorang yang bisa membuat jiwa nya kembali utuh seperti sedia kala. Merubah kehidupan nya menjadi lebih baik. "Rambut lo bau," ujar Gilang di tengah pelukan mereka. Tentu Gilang hanya bercanda karena fakta nya rambut Grafisa mengeluarkan wangi stroberi khas shampo anak-anak. Sungguh wangi yang sangat berbeda dengan Erisca.
***
Akhirnya satu konflik terpecahkan juga, gue merasa ni story bertele-tele banget, jadi alur nya bakalan di cepetin oke wkwk
Yang di media itu Gilang ya.
See ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...