Cerpen Sebelas - Phoenix

1.8K 46 4
                                    

Mimpikah?

Aku harap iya. Dinginnya malam yang merambat sampai ke tulang tidak terasa terlalu memilukan ketimbang rasa sendiri yang menggerogoti hati sampai ke akal.

Cahaya lampu redup yang ada di pesisir pantai ini membuat kerlip bintang memudar. Suara debur ombak yang bersautan mematikan sunyinya keheningan.

Aku merapatkan jaket abu kebesaran di tubuh. Bukan karena dingin, aku hanya ingin merasakan dan membayangkan bagaimana jika saat ini, ia ada disini.

Laki-laki konyol bersuara merdu itu mengingkari janjinya. Dengan tidak sopannya mematahkan ucapannya kalau ia akan selalu ada. Benar-benar menyebalkan.

Napas berat kuhela dari bibir. Rasa sesak di dada ini seakan ingin membunuhku.

Aku terdiam lalu aku tertawa lemah sembari menundukkan kepala. Mataku panas. Kelopak mataku pegal, menahan air mata yang ingin merangsak keluar.

Setahun aku berpura-pura tegar.

Tertawa lebar dan berkata bahwa aku baik-baik saja pada siapapun yang bertanya. Aku pun tak pernah menangis saat malam menjelang dan pikiran akan dia singgah di otakku sampai pagi. Jika diingat-ingat, tidak pernah sehari pun aku menitihkan air mata sejak kabar itu datang di pagi-pagi buta.

Mungkin hari ini adalah akhirnya. Aku tersenyum tipis dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Mataku menatap kelamnya langit malam dengan bintang sebagai hiasan angkasa dari semesta. Berharap sekali saja, diberi kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.

Semilir angin malam membuat anak rambutku berantakan. Rambut coklatku kukucir kuda karena laki-laki itu selalu membenciku dengan model rambut seperti ini. Aku ingin membuatnya marah. Aku merindukan wajah sebalnya akibat tingkahku yang kadang membuatnya mengernyit tidak suka.

Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya hingga rasanya aku bisa mati karena dadaku seakan diremat kuat.

Perlahan namun pasti, air mata yang kutahan entah sejak kapan menunjukan eksistensinya.

Kakiku melemah. Aku terjatuh dengan lutut menjadi tumpuan di atas pasir putih yang terasa dingin. Aku menatap lautan yang berwarna hitam sambil terisak keras. Mulutku kututup rapat menggunakan tangan kananku untuk menahan suara yang terdengar memilukan nan menyedihkan.

Aku menepuk-nepuk dadaku. Berkali-kali. Mengira rasa sesak ini bisa sedikit hilang karena tepukan yang sialnya, nyerinya tidak seberapa. Usahaku sia-sia. Rasa sesak karena dia masih ada dan terasa terlampau nyata.

Malam ini, aku seperti masuk ke dalam lubang hitam yang penuh akan siksaan kerinduan.

"Thira!" Aku mencoba berteriak dengan suara bergetar saat memekikkan namanya ke arah lautan.

Aku menangis tersedu-sedu. Aku ingin marah pada lautan dan langit malam. Mereka merenggut Thira dengan paksa. Mereka mengambil nyawa kekasihku tanpa memberitahuku terlebih dahulu.

"Thira! Cepat Pulang!" Aku menangis keras. Pandanganku kosong dan tidak fokus. Air mata yang terus mengalir membuatku hanya bisa melihat ke arah lautan dengan samar.

Aku memeluk diriku sendiri sambil mencoba untuk menghirup sisa aroma laki-laki itu yang mungkin masih tertinggal di jaketnya. Jaket abu yang kupakai adalah miliknya yang ia pinjamkan tepat setahun lalu sebelum nyawanya berlalu. Aku menyimpannya selama ini dalam lemariku dan tidak berani untuk menjamah kain itu barang sekali saja.

Saat aku menyadari bahwa tak ada sisa aroma parfumnya yang, hatiku semakin terasa seperti mau mati. Aku menyadari bahwa eksistensinya tidak ada di bumi ini. Bahkan sisa aroma yang ingin ku ais pun tak bisa kutemui.

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang