6 Maret, 2009
Randi sedang membuka pintu apartemennya ketika ia merasakan seluruh dunianya berputar sangat cepat hingga membuat tubuhnya terhuyung kedepan hampir jatuh ke lantai. Ia memegang kepalanya sesaat. Hangat adalah rasa yang pertamakali ter indera oleh jari - jarinya. Yahilah pake sakit lagi, ck. Begitu ia masuk apartemennya yang sangat gelap, tidak ingin repot - repot menyalakan lampu ataupun pendingin ruangan, Randi langsung berbaring diatas sofa tepat di ruang TV dekat pintu masuk. Ia kembali merasakan pelipisnya berdenyut, hingga akhirnya Randi benar - benar tidak lagi memperdulikan sekitarnya dan terlelap masih dengan setelan kantoran lengkap.
***
"Makasih ya, mbak." Ujar Dandy kemudian tersenyum seraya mengambil beberapa lembar uang kembalian yang diberikan oleh kasir mini market yang ia singgahi. Tangan Dandy kemudian merogoh kantung jaketnya untuk mengambil ponsel dan segera menekan tombol call pada kontak Randi, kakak tertuanya.
Panggilan pertama dan kedua tidak diangkat oleh kakaknya. Pada panggilan ketiga yang tidak juga diangkat, dahi Dandy kontan mengerinyit. Jam tertera pada ponselnya adalah pukul setengah sembilan malam. Kemana coba Randi jam segini nggak ngangkat telepon? Lembur kali ya? Pasalnya, kakaknya itu tidak gemar menggunakan mode silent dalam ponselnya. Ia selalu gelisah, takut apabila panggilan atau pesan yang datang adalah sesuatu yang penting.
Dandy tidak gentar. Panggilan ke enam pun tetap ia coba, dan untungnya membuahkan hasil. Randi mengangkat panggilan adiknya.
"Bang, lo dimana? Sibuk banget sampe nggak ngangkat telepon? Apa udah tidur? Yakali deh lo jam segini masa udah tidur? Apa lo--"
"Duh lo bawel amat si. Kepala gue pusing."
Dandy bingung dengan perubahan suara seseorang diseberang sana. Kemudian ia memeriksa kembali kontak yang ia hubungi. Benar itu kontak Randi rupanya.
"Suara lo lemes udah gitu serek banget bang. Lo sakit?"
"Hm"
"Udah minum obat belom?"
"Hem-em"
"Hah? Udah apa belom si?"
Gumamman tak jelas kembali terdengar dari Randi. Tanpa banyak basa basi, Dandy langsung kembali ke minimarket dan membeli beberapa obat - obatan yang dirasa cukup sebagai pertolongan pertama untuk kakaknya itu. Malam ini sepertinya ia harus menginap di apartemen abangnya.
***
Dandyanka P. W : Bang Randi sakit. Mama Papa gausah khawatir. Dandy udah di apartemen abang. Kayaknya nginep sini aja. Cindy sama Indi juga gausah panik. Besok abis pulang sekolah baru ke sini aja ya.
Dandy selesai mengetikkan pesan di grup keluarganya setelah memastikan abangnya itu meminum obat pereda flu yang ia berikan.
Sekarang Randi telah terlihat berganti baju dan lebih bersih dibanding saat tadi Dandy sampai di apartemen kakaknya tersebut. Randi membukakan pintu adiknya ketika datang dalam keadaan setengah sempoyongan, masih dengan kemeja kantor yang lecek, serta ruangan apartemen yang pengap karena tidak dinyalakannya pendingin ruangan. Dandy yang melihat hal tersebut langsung menyuruh Randi ganti baju dan segera minum obat.
"Mama Papa kapan balik dari Yogya?" Ujar Randi seraya mengistirahatkan kepalanya pada sandaran sofa.
"Minggu depan juga udah balik." Dandy mengambil gelas bekas kakaknya untuk ditaruh di dapur, kemudian beralih ke depan pintu kamar Randi. "Lo nggak mau tiduran di kamar aja?" Ujar Dandy sambil membuka pintu kamar abangnya lebar - lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
in pieces
Short Story"because something big, are made from a loads of tiny lilttle micro pieces..."