Satu一 Perlu digarisbawahi, bahwa Bae Jinyoung bukan seorang pemalas. Ia hanya tidak terlalu akrab dengan terik matahari yang menjajah sebagian penjuru bumi. Setengah energinya terkuras seraya kakinya terayun menapaki lantai, bergegas menuju pada suara yang memanggilnya.
"Ya, Bu?" Sambil menatap punggung sang Ibu, Jinyoung berujar. Berdoa di dalam hati, semoga apapun kebutuhan Ibunya hari ini sudah terpenuhi.
"Nak, tolong belikan garam dapur ya. Ibu lupa kalau garam kita sudah habis."
Sang Ibu berbalik dan tersenyum saat mendapati anak semata wayangnya berdiri di ambang pintu, tak menunggu lama Ia merogoh uang pada kantong celemeknya yang berwarna merah muda. Menyerahkannya kepada Jinyoung kemudian berlalu, sama sekali tak memberikan kesempatan anaknya untuk menyanggah.
Jinyoung menatap selembar uang yang kini ada dalam genggamannya. Beradu tatap dengan salah satu tokoh pahlawan disana. Mungkin Ia berhalusinasi, tapi sungguh wajah pria dalam selembar kertas ini melempar tatapan penuh belas kasihan padanya.
'Selamatkan aku dari penjajahan ini.' Ujarnya miris sedikit berlebihan.
.
Gemerincing bunyi lonceng mengiringi langkah Jinyoung saat keluar dari sebuah Toserba. Dengan kantung belanja kecil bertengger di tangannya, Jinyoung menatap jalanan yang terasa panjang. Separuhnya yakin bahwa Ia telah masuk ke dalam dimensi berbeda, dimana matahari terbelah menjadi dua.
"Butuh payung?"
Jinyoung terkesiap kaget saat suara lembut membawanya bangun dari lamunan singkatnya. Ia berbalik untuk mendapati wajah teduh Nenek penjaga Toserba yang tersenyum padanya.
Jinyoung balas tersenyum seraya menggeleng kecil. "Tidak, Nek."
"Jinyoung sudah besar, sekarang sudah masuk SMA." Ujar sang Nenek lembut. Suaranya penuh akan rasa bangga sembari tangannya terangkat untuk menepuk rambut Jinyoung pelan.
Senyum Jinyoung melebar saat merasakan telapak tangan kasar sang Nenek membelai rambutnya. Perhatiannya terhadap Jinyoung tak pernah pudar walau satu dekade telah berlalu. Bisa dikatakan bahwa Toserba yang terletak di pinggir jalan ini adalah rumah keduanya. Sejak kepindahannya ke kota ini pada usia 5 tahun, tak pernah ada hari di masa kecilnya yang Ia lewatkan tanpa melangkah ke Toserba Nenek.
Sebuah bangunan lama yang berdiri di pinggir jalan dengan pohon rindang di salah satu sisinya. Kotak manisan dan keripik beradu pada etalase terdepan, di sampingnya terletak lemari pendingin dipenuhi dengan minuman dan es krim berbagai rasa. Tidak lupa dengan poster bertuliskan 'Dapatkan Es Krim Gratis!' terpapampang lebar di atasnya. Beberapa lusin layangan mengantung pada dinding Toserba, salah satu benangnya menjuntai pada tumpukan mainan di bawahnya. Jinyoung kecil menyukai tempat ini, dan semua yang ada di dalamnya.
"Nenek kayak sudah lama nggak ketemu Jinyoung aja."
Nenek mengangkat alis kemudian mencubit pinggang Jinyoung pelan, yang kemudian dibalas dengan rintihan mengaduh dan tatapan tak terima. Nenek kembali tersenyum kemudian berbalik untuk mengambil sebuah permen. Menggapai tangan Jinyoung dan menaruh permen itu pada genggamannya.
"Sana pulang, garamnya pasti sudah ditunggu Ibumu." Nenek berujar sembari menepuk pelan genggaman tangan Jinyoung sebelum melepaskannya.
Jinyoung mengulum senyum, rasa sakit cubitan Nenek seketika Ia lupakan. Dengan kantung belanja di tangan kiri dan sebuah permen di tangan kanannya, Jinyoung berjalan mundur seraya melambai gembira.
"Terima kasih, Nek!"
.
Kurang lebih sekitar dua meter baru Ia lalui ketika Jinyoung menyesali keputusannya, kenapa Ia sok menolak tawaran Nenek untuk meminjaminya payung? Lihat, Ia meleleh di bawah naungan matahari. Permen di mulutnya pun terasa hambar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amortentia
Short StoryDalam semesta yang berbeda sekalipun, aku memandang masa ke masa bersamamu. Bae Jinyoung centric Warning: contains bxb