Part 1

29 3 1
                                    

Pagi ini aku enggan untuk beranjak dari kamar tidurku yang hangat dan empuk. Hujan semalam juga masih menyisahkan dingin dan rintik-rintik hujan. Rasanya aku malas untuk bersiap-siap pergi ke sekolah, walau jam telah menunjukkan pukul enam pagi.

Sebulan sudah mama dan papa resmi bercerai. Dan aku sendiri masih tinggal di rumah yang pernah menyisahkan sedikit kebahagiaan tentang apa itu keluarga bahagia. Sayangnya aku hanya tinggal sendiri di sini bersama sepasang suami istri yang bekerja di rumahku, yakni pembantu dan supir. Pembantu yang sedari kecil merawat dan membesarkanku hingga saat ini. Semenjak perceraian, papa pindah ke Amerika mengurusi bisnisnya. Lalu mama, entahlah. Terakhir ku dengar dia sedang arisan dengan teman-teman sosialitanya di luar negeri. Sejauh ini aku masih belum menerima telpon dari kedua orang tuaku pasca bercerai. Entah sekedar menanyakan keadaanku seperti apa? Atau menanyakan bagaimana perasaanku melihat mereka berpisah? Tak ada sama sekali. Mungkin mereka lupa jika punya anak, atau aku memang tak pernah berarti di mata mereka. Entahlah..

Tok .. Tok.. Tok..

“Non, non Vera. “panggil bibi dari luar

Aku masih tidur, tapi samar-samar masih ku dengar panggilan dari bibi itu.

“Non, bibi masuk ya.”Ujarnya lagi

Aku tak peduli, justru merapatkan selimut pada tubuhku.

Sebuah goncangan kecil kurasa di lenganku. Sedikit demi sedikit aku membuka mataku. Bibi telah ada di sampingku.

“Non, bangun. Sudah jam 6 pagi nih non.”Ujar bibi sekali lagi

“Aduh bi, Vera malas ke sekolah. Hari ini Vera ijin masuk sekolah sajalah bi. Bibi izinin ya . Bilang saja Vera sakit, kalau perlu bilang saja di opname sekalian” Jawabku kemudian menutup mataku kembali

“Tapi non, non Vera terlalu sering tidak masuk sekolah. Apa non nggak sayang, sudah bayar mahal-mahal tapi jarang masuk sekolah.” Bujuk bibi

“Aduh.. bibi bawel deh. Terserah Vera mau masuk atau enggak? Mama papa Vera saja nggak ada yang peduli. Kenapa justru bibi yang sok ngatur?” tanyaku dengan nada tinggi

Ku dengar helaan nafas bibi panjang.

“Bukan seperti itu non. Inikan bibi, bukan orang tua non. Kalau Bibi sayang loh sama non. Non Vera sudah bibi rawat sejak kecil, jadi bibi sudah anggap seperti anak sendiri. Lagian sayang non sama pelajarannya, ketinggalan jauh nanti kalau nggak masuk terus. Bibi juga yakin, non pasti bosenkan di rumah sendiri terus. Lebih baik pergi ke sekolah, ketemu sama banyak temen-temen non. Bisa ketemu gebetan juga" Tambah bibi sekali lagi

Aku mengerutkan keningku, sembari memikirkan apa yang di katakan oleh bibi tadi.

“Iyaya, Vera masuk sekolah hari ini. Bilang sama pak Yudi juga buat menyiapkan mobil” Ujarku yang akhirnya termakan rayuan bibi

“ Nah itu baru non Vera kesayangan bibi” kata bibi girang

Dengan terpaksa akupun beranjak dari atas ranjangku yang hangat. Udara yang begitu dingin seperti ini membuat seolah-olah gaya gravitasi pada ranjangku sungguh kuat. Tapi demi melihat Richi, aku rela deh pergi ke sekolah di pagi yang dingin ini. Richi adalah satu-satunya alasan, kenapa aku harus pergi ke sekolah. Ku harap suatu saat nanti hubungan kita mengalami kemajuan. Menjadi pacar mungkin.

***
Akupun turun di depan sekolah, dan pak Yudipun telah pergi usai mengantarku. Bagus, aku terlambat. Harusnya aku tak menuruti perkataan bibi tadi, jika ujung-ujungnya aku terlambat juga.

“Pak, pak bukain dong” Ujarku pada pak Arif, satpam sekolah.

“Sudah telat 15 menit neng” Jawab Pak Arif

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 16, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Teroris CintakuWhere stories live. Discover now