15. Patah Hati

22.5K 874 5
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

.

.

.

Malam telah tiba, karena keinginan sang Umiya ia ditahan di Ndalem. Ia harus menunggu setelah Isya tepatnya setelah makan malam baru diperbolehkan untuk kembali ke masjid. Disebabkan karena itu pula ia harus menyerahkan tanggung jawabnya pada para sahabatnya, menggantikan dirinya untuk menjadi imam salat dan segala persiapan sebelum salat, dan tentu saja memberikan kultum singkat.

Semua kegiatan untuk pondok telah selesai. Masjid dan pekarangan yang lain jua sudah lenggan dari lalu-lalang santri yang biasanya berseliweran. Ia melihat sekilas jam tangannya.

"Baru jam Sembilan kok, tumben udah sepi." Gumamnya saat melihat sekeliing. Dengan langkah santai ia mengangkat bahu. Mungkin saja hari ini jadwalnya tidur sebelum jam sepuluh.

Kakinya yang baru saja akan melangkah masuk ke dalam masjid untuk menuaikan salat witir terhenti saat mendengar tangisan. "Siapa?"

Ia sedikit was-was takutnya jin yang tengah menggodanya agar tak jadi melaksanakan salat dan malah memilih kembali kekamar dan tidur. Ia mendekat kearah dimana suara itu berasal. Ia melihat seseorang yang tengah bersujud dengan bahu bergetar hebat.

"Ya Allah kenapa sesakit ini? Apakah ini arti dari peringatan dari sahabat hamba selama ini. Sungguh ini menyesakkan, mengapa harus sahabat hamba sendiri?" ia kembali larut dalam tangis yang menyayat hati siapa saja yang mendengar. Termasuk Ghazy yang hanya mampu memandangnya sendu.

"Barang siapa yang berusaha menjaga diri, maka Allah akan menjaganya. Barang siapa yang berusaha cukup maka Allah mencukupinya. Barang siapa yang berusaha bersabar, maka Allah akan menjadikannya bisa bersabar dan tidak ada seorangpun dianugrahi sesuatu melebihi kesabaran." Kepala orang yang sejak tadi bersujud itu mendonggak melihat pada orang yang baru saja mengucapkan sebuah hadist dari Bukhari.

"Nggak pa-pa nangis aja. Lo perlu pelampiasn atas sakit yang lo rasain sekarang kan?" kepala itu mengangguk pelan dengan mata yang terus saja berurai air mata. Walau sudah ia seka namun tetap saja mengalir deras.

"Ada apa?" tak ingin menjawab kepalanya menggeleng.

"Yaudah kalau nggak mau cerita gue nggak akan maksa. Gue cuma bakal nungguin lo sampai lo merasa tenang." Benar saja air mata gadis tersebut kembali mengalir dengan derasnya tanpa bisa dicegah bahkan semakin sakit saat diiringi dengan segukan.

Melihat itu Ghazy hanya bisa menatap prihatin, ia tahu bagaimana sesaknya saat orang yang disayangi itu ternyata tak mencintai kembali. Ia juga merasakan hal yang sama dirasakan oleh Fia, ia juga ikut tersiksa saat mata itu menatap orang lain dengan pandangan penuh binar dan harap. Dadanya terasa menghimpit saat melihat mata indah itu tak lagi menatapnya garang dan malah menangisi lelaki lain.

Sekitar tiga puluh menit ia membiarkan Fia menangis dan menumpahkan segala sesak yang dirasakannya. Kini ia sedikit lebih tenang dan lega, dengan mata yang masih sembab bahkan besok mungkin saja seperti baru membengkak. Ia emlihat keaarah Ghazy yang terus saja melihat kearahnya dengan pandangan kosong.

"Kenapa?" mendengar pertanyaan lirih itu Ghazy mengerjab.

"Hm?"

"Kenapa kamu disini?"

"Oh, lo nggak lupa kan kalau gue emang tinggal disini?" Fia melihat sekeliling, benar ia sekarang berada di masjid dan laki-laki ini tinggal di kamar marbot masjid.

"Maaf, pertanyaanku retoris banget." Walau dengan suara sengau Fia berusaha agar tak terdengar menyedihkan.

"Lo jelek banget." Ghazy menatap Fia lekat dengan tatapan tajam.

Crazy Ghazy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang