Pukul 16.03 PM
Aku sedang berada di koridor depan kelasku. Melamun dan menikmati rintik-rintik air hujan yang menerpa wajahku. Hmm... dingin sekali tapi anehnya aku masih ingin berlama-lama berada di sini. Hampir semua teman-temanku di sekolah sudah pulang, hanya beberapa yang masih tinggal. Mungkin mereka sedang meratapi nasib karena tidak membawa payung atau mantel sehingga tidak bisa pulang atau mereka memang sengaja tidak pulang karena ingin melamun sambil menikmati suasana hujan sepertiku.
Setelah kejadian seminggu yang lalu, aku masih belum memutuskan apakah aku akan bergabung dengan Zoneperest atau tidak. Aku bingung sekali, jika aku memutuskan ambil bagian maka itu sama halnya dengan membantu pembunuhan meski yah... yang dibunuh itu memang para pengacau yang tidak diperlukan oleh dunia. Merusak pemandangan saja.
Tapi di satu sisi, aku setuju dengan apa yang dikatakan Lincoln. Lebih baik membunuh satu orang daripada harus membiarkan dia merusak lebih banyak orang. Yah... bagaimana ya? Tapi jika aku memutuskan bergabung juga ada sisi positifnya selain bisa membasmi para pembully itu-mimpiku sejak dulu. Aku bisa menghabiskan waktu dengan para lelaki tampan-meski mereka pembunuh, aku bisa mengelilingi dunia, dan kebutuhanku dijamin akan tercukupi. Mereka menyediakan perlindungan dan mencukupi segala keperluanku.
"Na?"
Seseorang menepuk pundakku. Aku lalu menoleh kepadanya. Ternyata Aria, dia belum pulang rupanya.
"Eh? Kenapa kamu masih ada di sini?"
Aria menarik napas panjang. Tampaknya dia lelah, "Tadi Miss Elannie memanggilku ke ruangannya. Dia memarahiku karena nilai-nilaiku yang kurang sempurna."
"Kurang sempurna? Maksudmu nilaimu jelek?" Kataku dengan polos dan sebenarnya sangat kejam.
"Ya bisa dibilang begitu. Dia menahanku sampai sore dan membuatku terlambat pulang."
"Mau mampir ke apartemenku? Kita bisa menghangatkan badan di sana dan mungkin aku bisa membuatkanmu makanan."
"Eh? Ayo!" Aria mengangkat kedua tangannya. Bersemangat sekali.
Aria hampir bernasib sama denganku. Dia tinggal di apartemen. Sendirian. Bedanya Aria masih memiliki orang tua yang tinggal di Los Angeles, USA. Biaya hidupnya ditanggung oleh orang tuanya, beda sekali denganku yang harus bekerja sendiri.
Apartemen Aria letaknya sangat jauh dari sekolah. Berbeda denganku yang saking dekatnya hunianku dengan sekolah aku sampai bisa berjalan kaki ke sekolah. Kadang-kadang saja aku menumpang bus sekolah jika sedang lelah.
Aku sering mengajak Aria berkunjung ke apartemenku. Seperti hari ini. Lagipula besok adalah hari libur sehingga Aria bisa bebas berkelana ke apartemenku.
Kami berdua lalu melewati koridor belakang-sebenarnya tempat ini sangat jarang dilalui karena gelap dan sepi-supaya bisa lebih cepat pulang.
Dengar-dengar koridor belakang adalah tempat yang kau tahulah... menyeramkan. Ada cerita horor yang berhembus di sini. Aku tidak menyangkalnya sih mengingat suasananya sudah berat dan sepi begini. Tempat ini juga memiliki lampu yang jarang. Tapi karena kami berdua cukup nekat atau dengan kata lainnya bodoh, kami sengaja melupakan hal itu.
Jika kamu melewati koridor belakang maka kamu akan bertemu dengan laboratorium biologi dan kimia. Menambah kesan seram saja. Di lab biologi yang tembus pandang itu, kalian dapat melihat patung-patung peraga manusia buatan yang tidak tahu malu karena tidak memakai baju. Mereka dengan pedenya berdiri tegak sambil memamerkan otot-otot dan rangka mereka. Sungguh tak tahu malu. Bahkan ada yang hanya berwujud mata saja, jantung, paru-paru, atau replika sistem pencernaan yang menampilkan bagian dalam ususmu.
Aku merasa seolah-olah patung-patung itu hidup dan melihatku. Mata mereka seperti mengekoriku. Aku dan Aria berjalan melewati koridor belakang sambil melihat patung-patung tadi dengan mata nyalang.
Atau di lab kimia yang sayangnya juga tembus pandang. Kamu dapat melihat berbagai macam ikan-ikan atau reptil atau binatang apalah itu diawetkan. Bahan-bahan kimia itu membuat wujud mereka tetap utuh meski mereka sudah tiada. Yeah... aku dan Aria masih menatapnya dengan mata melotot.
"Harusnya kita tak lewat sini," kataku pelan.
"Tapi sudah terlambat untuk kembali," sahut Aria, "Kita sudah setengah jalan."
"Ya kau benar. Lagipula mereka tidak hidupkan? Hewan-hewan dan patung-patung itu takkan mengejar kita."
"Tapi tetap saja itu menakutkan. Kita lari saja bagaimana? Aku tak tahan. Terlalu sepi dan gelap."
"Oke. Pada hitungan ketiga ya? Satu... dua... ti... ga..."
Dan kami berdua pun lari sekencang-kencangnya. Cewek jika sudah takut setengah mati maka mereka akan memiliki dua kemampuan yang mengagumkan. Yaitu lari kencang sambil berteriak. Dan itulah yang saat ini kulakukan bersama Aria.
Tapi saat akan melewati ujung koridor belakang, aku tiba-tiba berhenti.
"Kenapa Na?" Aria ikut berhenti.
"Apa kau mendengar sesuatu?" Kataku sambil menengok ke segala arah. Mencari sumber suara yang tadi sekilas kudengar.
"Su... suara hantu? Kita pulang saja yuk!" Aria menarik tanganku.
"Tunggu sebentar! Ada yang meminta tolong. Dengarkan suara itu dan bantu aku mencarinya. Setelah itu kita pulang."
"Bagaimana jika itu adalah hantu?"
"Jika itu hantu maka kita akan lari," kataku dengan tenang, "Tapi menurutku itu suara manusia."
Aku dan Aria kemudian berbalik lagi menyusuri koridor belakang. Aku tak peduli lagi pada patung-patung tak tahu malu dan hewan-hewan awetan itu. Saat ini sudah hampir malam, hampir tidak ada orang di sekolah, dan kami berada di tempat yang paling horor seantero sekolah untuk menemukan sumber suara yang kudengar tadi. Sungguh perpaduan jurit malam yang baik tapi sayangnya kami tidak sedang jurit malam.
Suara itu samar-samar kudengar saat berlari. Meski Aria berteriak keras sekali tapi aku bisa membedakannya. Dia meminta tolong, lirih sekali, cenderung tanpa daya. Berbeda sekali dengan suara hantu-apalagi wanita-yang suka cekikikan tidak jelas.
"Na?" Panggil Aria. Aku menoleh lalu menghampirinya.
Aria menunjuk ke dalam lab biologi, di samping patung replika manusia utuh yang tegak berdiri. Di sana ada orang yang mulutnya disumpal dengan kain, tangan dan kakinya diikat dengan tali tambang, mata anak perempuan itu merah, kondisinya mengenaskan sekali. Dia hanya bisa mengucapkan kata 'tolong' dengan sangat pelan karena sumpalan kain itu.
Aku lalu mendobrak pintu lab biologi dengan paksa dan bergegas menolong anak itu, melepaskan dia dari sumpalan kain dan ikatan tali.
"Hei? Kau bukan hantu kan?" Tanya Aria dengan bodohnya. Aku memelototkan mata kepadanya.
"Siapa namamu?" Tanyaku pada anak perempuan itu.
"Cla... claudia," katanya lirih, "Tolong aku Kak," pintanya. Ternyata dia adalah adik kelasku.
"Aria tolong panggilkan guru," kataku menyuruh Aria dan tanpa disuruh dua kali dia langsung melesat.
"Kenapa kau bisa ada di sini? Siapa yang melakukan ini padamu?"
"Mereka... mereka yang mengikatku, anak-anak haus darah itu."
Setelah mengatakan itu, Claudia langsung pingsan. Meninggalkan aku dengan rasa sepi dan ngeri yang semakin terasa. Tangan kanan anak itu mengucurkan darah. Aku sangat kaget ketika melihat jari tengah dan jari tunjuknya terpotong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zoneperest
AdventureKamu dibully? Diremehkan? Disakiti? Dicaci maki? Dikucilkan? Dihina? Padahal kamu tidak bersalah dan mereka sebenarnya juga tidak tahu alasan untuk membullymu. Kamu hanya digunakan sebagai pelampiasan mereka saja. Bergabunglah dengan kami! Zoneperes...