9. Kesendirian

197 88 51
                                    

Seharusnya ia gak meninggalkan Bia sekarang. Ia sadar, selama ini yang menemani Bia hanyalah Brian. Seharusnya Bia lah yang paling menderita setelah kepergian Brian. Namun, ia tidak bisa mengakuinya. Ia terlalu takut mengakuinya. Bahkan ia terlalu takut menerima kenyataan bahwa Brian tidak ada lagi bersama dirinya.

Apalagi saat melihat wajah Brian dan Bia dalam sebuah figura. Membuat mami Fira tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Meskipun ia bekerja demi anaknya, tetap saja, ia tidak bisa memberikan waktunya bersama anaknya. Ia terlalu sibuk pada pekerjaannya dan terlalu sibuk mencari anaknya yang lain.

"Mami kangen sama kamu, Berlan. Seandainya kamu ada disini, mami gak akan sendirian." gumamnya saat melihat foto lain yang ada laci meja nakasnya.

Sudah beberapa menit, mami Fira masih duduk diatas kasur memperhatikan ketiga foto anaknya. Brian sudah pergi, Bia memang ada bersamanya, hanya saja ia masih tidak bisa bersamanya. Namun, Berlan, mami Fira merindukannya. Sejak dulu, sekarang dan selamanya.

"Seharusnya aku pergi sekarang sebelum Bia bangun." Katanya yang langsung meletakan lagi semua foto anaknya di laci meja nakas. Lalu membawa koper keluar dari kamar dengan cepat.

Sejenah, mami Fira melihat ke atas dimana kamar Bia berada. Hanya ada perasaan bersalah yang masih singgap di hatinya. Ia berharap Bia bahagia meski tanpa dirinya.

Mami Fira menghapus air matanya yang tiba-tiba jatuh. Kakinya melanjutkan lagi jalannya cepat menuju pintu rumahnya. Melewatkan meja makan yang biasa mereka huni, melewatkan ruang keluarga saat ia melihat Brian selalu menjahili Bia. Saat-saat kenangan yang tidak bisa kembali terulang.

"Maafin mami, Bia." gumanya pelan sebelum keluar dari rumahnya dan membiarkan Bia seorang diri.

***

Bia tidak bisa memutuskan pilihan semalam karena orang itu. Ia masih membiarkan ancaman sih pengirim bergantung dalam benaknya. Berkat orang itu juga, Bia melewatkan makan malam bersama maminya. Namun untuk pagi ini, ia harus berani bertatap langsung dengan mami. Meskipun bayangan Brian belum sepenuhnya hilang dalam benaknya. Setidaknya masih ada mami yang kini menemaninya.

Ia langsung merangkul ranselnya dan keluar dari kamarnya. Hanya saja saat Bia akan berjalan menuju tangga, dari atas sudah dapat terlihat ruang makan di bawah sana.

Tidak ada siapapun. Padahal Bia yakin jam segini mami biasanya masih ada dimeja makan. Bia bahkan sengaja bangun lebih awal agar tidak ketinggalan makan bersama maminya. Nyatanya, ruang meja tidak ada siapapun.

Ia hanya bisa menghela nafasnya. Mami masih tidak ingin melihat wajahnya.

Bia lantas melanjutkan jalannya turun dari tangga dengan langkah yang gontai. Ia gak tau sampai kapan, mami akan mendiaminya. Ia tau, dirinya salah. Setidaknya, mami seharusnya mengerti perasaan Bia juga.

Sesampai di meja makan. Hanya ada suasana senyap yang menemaninya. Tidak terdengar ocehan mami yang selalu marah karena keterlambatan Bia sarapan pagi. Maupun omelan abangnya karena Bia selalu menolak minum segelas susu pagi hari.

Hanya ada dirinya yang kini menatap sepi kedua bangku itu.

"Non Bia..." panggil bi Ina yang muncul disamping Bia. "Ada surat buat non Bia." katanya lagi.

Bia menerima surat itu dengan wajah heran dan kembali menatap wajah bi Ina yang masih berdiri disampingnya, "surat dari siapa, Bi?" tanyanya.

"Nyonya Fira."

Mami??

"Bibi permisi kembali ke dapur dulu ya non."

"Ah iya, Bi."

FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang