Jilid 24

555 13 1
                                    

Sementara itu Bun Yat-hoan mondar-mandir pura2 memilih tempat yang cocok, sekonyong2 Hong-lay-mo-li mendengar suara orang seperti berbisik di pinggir kupingnya: "Nona di belakang bukit dengarkan, aku kagum akan keberanianmu, tapi jiwamu akan sia2 kau korbankan di sini, sebentar Liu Goan-ka akan turun gelanggang, kalau sampai ketahuan olehnya, tumbuh sayap pun kau takan bisa terbang. Di saat perhatian hadirin tertuju kepadaku, lekas kau menyingkir saja." 

Bun Yat-hoan gunakan ilmu mengirim gelombang panjang, kecuali Hong-lay-mo-li tiada orang lain yang mendengar.

Baru sekarang Hong-lay-mo-li tahu maksud baik Bun Yathoan, Batinnya: "Agaknya malam ini boleh berkurang seorang musuh tangguh." diam2 ia terima kasih akan maksud baik Bun Yat-hoan, tapi dia berkeputusan hendak menonton sampai babak terakhir.

Ditengah suara ribut para hadirin yang menunggu tak sabar lagi, dengan ringan Bun Yathoan tiba2 enjot kakinya melayang naik hinggap dipucuk sebuah dahan, dahan ini kebetulan menjuntai kearah dinding bukit. Dahan sebesar ibu jari, namun Bun Yat-hoan bisa duduk bersila tanpa bergeming, seolah2 yang duduk diatas dahan adalah seekor kecapung, meski perawakan Bun Yat-hoan tidak besar, sedikitnya ada seratus kati berat badannya, namun dahan liu itu sedikitpun tidak bergeming atau melengkung. Gin-kang sehebat ini, kapan hadirin pernah melihatnya, kembali seluruh gelanggang diramaikan sorak sorai dan pujian muluk2.

Agaknya Bun Yat-hoan harus tenangkan diri dan membetulkan tempat duduknya lebih dulu dengan gaya yang di-buat2, dahan pohon tampak rada tenggelam, disusul ia gerakan potlotnya, cepat sekali Bun Yat-hoan sudah menggores2 didinding bukit yang keras itu, setiap goresan potlot bulunya seketika bubuk batu beterbangan, sekejap saja diatas dinding sudah tertulis sehuruf Thian".

Begitulah dahan pohon semakin melengkung kebawah mengiringi gerak tangan Bun Yat-hoan, kejap lain ia sudah menulis Thian memberi kehidupan manusia tambah usia!" Tujuan hadirin memang ingin melihat kepandaian silatnya, bukan menilai seni tulisnya, sampaipun Hong-lay-mo-li diam2pun memuji dalam hati. Tanpa menunggu syair tampilan selanjutnya, seluruh gelanggang kembali gemuruh oleh tepuk tangan.

Bun Yat-hoan garuk2 kepala sebentar lalu meleng kepala seperti berpikir mencari ilham, tanpa kelihatan badannya bergerak, tiba2 tubuhnya melayang ke dahan lain disebelahnya tetap bergaya duduk seperti semula, dimana setiap goresan potlot bulunya menimbulkan hujan debu pula, sebentar saja syair tampilan-nyapun sudah dia ukir diatas dinding bukit itu, bunyinya adalah "kau punya tameng aku punya tombak."

Bagi hadirin yang bisa menyelami arti kedua syair tampilan ini jadi beradu muka tak berani bersuara, Hampir saja Honglay-mo-li tertawa geli, batinnya: "Bagus, cocok benar syair "kau punya tameng aku punya tomobak"! Coba dimana kulit tua Liu Goan-ka hendak dicentelkan?"

Sementara itu Bun Yat-hoan sudah buang potlotnya dan melayang turun sambil tepuk2 tangan, serunya tertawa: "Thian memberi kehidupan manusia tambah umur, kau punya tameng aku punya tombak, tampilannya mestinya kurang cocok, namun boleh juga ditrapkan menjadi satu, bagaimana pendapat para hadir ini?"

"Sontoloyo! "Liu Goan-ka mendamprat dalam hati "Kupandang kau sebagai tamu agung, sebaliknya berani mengolok2 dihadapan orang banyak, Terang kau sengaja menantang bahwa apapun yang kulakukan, jangan kau menentang maksudku?"

Tapi sebagai tuan rumah yang dipandang sebagai pimpinan Bulim d iKanglam, meski marah, tak enak ia umbar adatnya.

Malah Kim Cau-gak yang bersikap kurang senang ejeknya: "Bun-siansing, apa maksud tulisan syairmu ini, aku mohon penjelasan."

"Aku hanya mengejar kebenaran saja peduli maksud apa segala? Kau kira apa maksudnya?" jawaban Bun Yat-hoan mengandung sindiran.

"Memangnya sikapmu ini benar terhadap Liu-chengcu?"

Pendekar Latah (Tiao Deng Kan Jian Lu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang