10. Sebuah Kebenaran??

191 85 55
                                    

'Maafin mami, Bia.' kata-kata itu masih berbayang dalam benaknya. Ia hanya heran, kenapa mami harus minta maaf padanya? dari awal, Bia memang salah. Jadi wajar saja jika mami tak mau bersamanya. Hidup dalam kesendirian. Sepertinya bukan hal pertama untuk ia alami. Ia akan mencoba untuk menerima takdir yang kini memberinya pelajaran. Bahwa satu kesalahan akan berakibat fatal.

Ia bahkan tidak ingin menikmati sarapan pagi di rumahnya.

Dari pukul enam lewat lima belas, Bia sudah berada di kelas. Kelas masih sepi. Sesekali akan ada suara murid lain dari kelas tetangga.

Ia gak memperdulikannya. Karena telinganya hanya mendengar suara alunan nada musik yang disukai Brian.

Brian suka musik. Musik ibarat sebuah kehidupan pahit manit dan sulit diucapkan dengan perkataan. Melainkan melalui melodi. Perasaan dapat dilontarkan.

Dengan bersandar pada jendela kaca di sisi kirinya, Bia memejamkan matanya untuk fokus mendengar alunan nada yang kini bergema. Bahkan, ia juga menyimpan file lagu yang dinyanyikan Brian. Mendengarkan lagi suaranya mungkin salah satu obat untuk meringankan sebuah rindu.

Saat weekend tiba, Brian akan mengajak Bia untuk mengunjungi cafe-cafe yang akan menjadi langganannya untuk bernyanyi. Suara Brian disukai pengunjung yang mendengarnya. Bahkan salah satu cafe menjadi tempat favorit Brian untuk bernyanyi. Yap, benar, cafe rooftop. Cafe yang meninggalkan sebuah kenangan. Baik itu hanya sekedar berkunjung, Brian akan disambut hangat oleh manager mereka. Ia juga demikian. Bahkan manager di cafe itu cukup hafal dengan minuman yang selalu ia pesan.

Katanya, minuman kesukaan Bia hanya satu gelas green tea latte. Bia gak akan mau minum yang lain.

Terdengar seperti gadis yang terlalu gila hanya menyukai satu minuman.

Namun Brian akan mengacak rambut Bia saat minuman itu sampai di mejanya. Brian selalu suka menjahilinya. Bahkan minuman yang baru sampai di meja, langsung saja disamber sama Brian. Hingga white cream dari minuman iu menempel di bibir Brian. Dan Brian akan tersenyum lebar dengan membiarkan white cream itu di bibirnya. Tanpa membersihkannya.

Tingkah konyolnya benar-benar bisa membuat Bia tertawa.

Juga sedih.

Saat Brian gak ada, semua itu hanya menjadi sebuah kenangan.

Saat matahari terbit, Brian meninggalkan bayangan wajahnya. Hingga matahari terbenam, bayangan wajahnya meninggalkan jejak kenangan.

"BIANKAAA...." Kesal seseorang yang kini duduk di hadapannya. Lalu menarik aerphone dari kuping gadis itu.

"Kepala lo kenapa di plesterin gitu? Lo kemarin kenapa gak masuk? Telepon lo juga gak aktif. Lo kenapa sih, Bi?" tanya Bara bertubi-tubi dengan wajah kesal dan cemasnya.

Bia masih memandanginya, ia masih tak percaya, ternyata Bara juga bisa secerewet gini. Ia lantas menarik nafas sejenah. Masalah kemarin gak bisa ia katakan. Hanya saja, ia bisa mengatakan sebuah kebohongan.

"Kemarin gue gak sengaja jatuh di dapur. Kepala gue kejedot meja. Makanya kemarin gak masuk. Disuruh mami istirahat dulu." alasannya.

"Beneran? Lo gak nyembunyiin sesuatu sama gue kan?"

Bia lantas sedikit memajukan sedikit wajahnya, "Apa wajah gue terlihat sedang nyembunyiin sesuatu?" candanya sambil menampilkan senyuman lebar.

Bara hanya mendengus sebal. Namun hanya sebentar sebelum ia berahlih pada ponsel di tangan Bia.

"Lo ganti hanphone?"

Bia melihat ponselnya lalu kembali menatap Bara dengan sebuah anggukan. "Ponsel gue ikutan jatuh. Hancur deh. Jadi terpaksa beli lagi yang baru."

FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang