22. Unwelcoming Welcome
Sudah bisa dipastikan bagaimana rupa Megan ketika ia berbalik.
Ia bahkan bisa mendengar sekilas suara petir menyambar saat berhadapan langsung dengan Dave, pria yang selama ini sengaja ia hindari. Untunglah tidak ada hujan yang mengikuti. Bisa-bisa ini akan menjadi seperti drama Bollywood yang pernah ditonton Diana.
Megan mencoba mencari jalan keluar dengan menatap selasar di belakang tubuh Dave, meminta pertolongan siapapun. Berlebihan, Megan. Tapi benar, untuk sekarang ia ingin kabur lagi, mengambil langkah seribu dari sana.
Tapi suara tegas Dave yang pernah didengarnya mengalun kembali memanggilnya. "Luwina? Jadi... namamu Luwina? Kupikir namamu..." ucapnya terpotong karena menatap pulpen hitam di tangannya.
Megan membelalak melihat itu. Benda yang ia cari. Pulpennya ada pada Dave, pulpen peninggalan ibunya.
Oh, sial sekali.
Dave yang berdiri di sana sebenarnya juga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia menahan napas saat gadis yang dicarinya itu akhirnya menampakkan diri. Tapi dia tidak seperti yang dilihatnya saat terakhir kali bertemu di danau.
"Aku sudah mencarimu selama ini, kau tahu?" tambah Dave yang membuat Megan kebingungan. Dave memasang wajah tegas dengan rahang yang ditekan.
Tunggu... Dave mencarinya?
Tapi Megan juga bisa melihat raut wajah bingung yang dipancarkan Dave saat menatapnya keseluruhan. Mungkin ia bingung dengan bobotnya yang sekarang berubah.
"Kau tidak mengenalku?" tanya Dave berulang.
Dave yang berdiri tiga meter dari gadis itu sebenarnya ingin mencari jawaban apapun dari Megan. Tapi gadis itu hanya terpaku di tempat menatap pulpen yang dipegangnya. Pulpen yang dipegang?
"Tunggu, kalau saat kupanggil kau berbalik berarti pulpen ini punyamu, kan? Berarti..." ucapan Dave yang akan mengatakan Megan yang bersembunyi kemarin di sana mengagetkan dirinya sendiri.
"Lalu mengapa kau bersembunyi?" tanya Dave. Sedari tadi wajahnya masih keras seperti batu. Mungkin seperti itu rupanya yang sebenarnya. Keras dan dingin.
Megan menelan ludahnya. Ia bahkan berteriak 'Siapa saja tolong aku!' dalam hati tapi tidak akan ada yang mendengar.
"Kembalikan pulpenku," cicit Megan. Ia menengadahkan tangannya ke arah pria itu. Dave yang melihatnya hanya mengangkat alisnya satu.
Oh, jadi gadis ini melupakannya, begitu? Baiklah.
Dave yang tak terima atas reaksi Megan malah sengaja beranjak ke arah tong sampah terdekat. Dengan gerakan pelan, ia sengaja mendramatisir, membuat gerakan seakan ingin membuang pulpen di tangannya itu sambil menatap Megan.
"Hey... Kenapa mau dibuang?" tegur Megan mulai mendekat. Dengan bergegas ia ingin merebut pulpen itu dari tangan Dave, tapi Dave mencegahnya.
Berhasil.
Ia menggenggam tangan Megan ke atas dan merapatkannya tubuh Megan ke dinding.
Dave sangat penasaran mengapa gadis ini bersikap seolah ia tidak mengenal dirinya.
Megan sendiri yang tangannya digenggam sontak membelalak saat tangan Dave menyentuhnya. Jangan pikir betapa kagetnya ia saat ini. Ia bahkan membeku saat tubuh Dave sangat dekat dengannya.
Dave menatap Megan yang matanya membulat. Dari sorotnya, ia tahu gadis itu sengaja bersikap tidak mengenalnya seperti ini.
"Kau tidak mengingatku, gadis danau?" selidik Dave. Ia bisa merasakan Megan yang ingin melepaskan cengkraman tangannya. "Padahal aku ingat semuanya," tambah Dave, menantang.
Megan tetap terdiam. Wajahnya kini ia hadapkan ke samping sambil menutup matanya rapat.
"Di danau itu..." ucap Dave, memulai.
"Cukup..." Megan akhirnya tersadar. Saat Dave akan membahas itu, Megan akhirnya bereaksi dan berani menatap Dave.
"Lalu kenapa kau tidak mengenaliku? Jelas sekali kau sudah pernah melihatku di ruang musik dan kau tidak menegurku?"
Megan kebingungan. Napasnya tidak teratur. Setahu yang dikatakan temannya, Steph dan Diana waktu membahas pria ini, Dave bicaranya sangat irit. Pria ini tetap masih dingin seperti yang digambarkan Steph tapi...
Megan bisa merasakan Dave yang menghela napasnya. Dengan posisi yang masih sama seperti tadi, Dave merenggangkan sedikit cengkramannya tapi tidak melepas tangan Megan.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Dave, melembut. Ia mengalah karena melihat Megan keringat dingin sekarang.
"Ba-baik," jawab Megan terbata-bata. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah, sengaja menghindari mata Dave yang ternyata berwarna hazel.
Dave mengangguk. "Jadi kau masih mengenaliku rupanya, Megan."
Megan tertunduk. Sisi pemalu yang dimilikinya belum sepenuhnya menghilang.
"Aku senang akhirnya bertemu denganmu," ucap Dave melepas tangan Megan. Dave membenarkan posisinya lalu memberikan pulpen itu pada Megan.
"This is yours, huh? Jadi... Luwina siapa?"
Megan mengangkat kepalanya hingga melihat Dave yang sudah menjaga jaraknya. "Ibuku," jawab Megan singkat lalu merebut pulpen yang ditawarkan Dave padanya.
Megan menggenggam pulpen itu erat. Dan mereka berdua terdiam.
Sebenarnya Dave lega karena melihat gadis danau itu baik-baik saja. "Senang mengetahui kau baik-baik saja," ucap Dave mengacak rambut pirang Megan.
Lalu dengan posisi Megan yang masih sama, masih terpekur di dinding, Dave meninggalkannya.
Megan melihat punggung favoritnya itu menjauh.
Tunggu... Mengapa ada bunga berwarna-warni yang bertebaran ditiup angin saat melihat Dave melangkah dan menghilang di belokan depan?
Sialan! Ini pengaruh Diana dan film Bollywood nya itu.
18072017
Anggap aja cantiknya Megan kayak yang di cover yah..
Selamat menikmati.
With Love
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Feelings (Semua Orang Punya Luka)
Short Story#TrueShortStory Some feelings are left unsaid. Megan dan Owen adalah sahabat sejak kecil. Saat hubungan mereka semakin akrab, Megan yakin menyukai Owen, secara diam-diam. Ia menyimpan rasa sukanya itu untuk waktu yang lama. Tapi sayang sekali, sahab...