"Seorang siswi di sebuah sekolah menengah atas terelite di Jakarta Pusat kini telah menerima hukuman penjara dengan tuduhan pembunuhan. Tersangka merupakan cucu dari pemilik sekolah tersebut dan korban merupakan saudaranya sendiri sekaligus ahli waris dari keluarga. Diduga bahwa pembunuhan tersebut bertujuan untuk merebut harta warisan. Begitulah laporan yang disampaikan oleh orang yang tidak diketahui identitasnya yang merupakan pelapor atas kasus ini kepada polisi. Saya indira, melapor."
Berita tentang penangkapan seorang siswi berumur 17 tahunan di sebuah sekolah terelite di Jakarta sudah menyebar hingga ke luar kota Jakarta. Sang bunda dan ayah dari siswi tersebut yang kini tengah menjalani bisnis ke kota Bandung terperangah kaget.
Kini ayah Thalia sedang duduk di atas kursi kebesarannya di ruangan ber ac yang di atas meja kerjanya terdapat tulisan 'CEO KENCANA'. Ia kini tengah menonton berita yang menampilkan sosok putrinya yang di seret ke dalam sel tahanan.
Tatapan tajamnya semakin menajam. Rahangnya yang kokoh mengeras, dan kedua jari tangannya terkepal kuat.
Brak
Seseorang membuka pintu ruangan itu dengan keras. Mata ayah Thalia teralihkan. Di sana, terlihat istrinya dengan wajah cemas tengah mengatur nafasnya yang terengah-engah. Dari dalam bola matanya terlihat cairan bening yang kapan saja bisa keluar.
"Mas kita harus ke Jakarta sekarang!" Ucapnya sambil menghampiri suaminya.
"Tidak bisa, bun. Sekarang perusahaan ini sedang memerlukan pengontrolan saya. Jika tidak, semua yang telah direncanakan bersama perusahaan milik keluarga Tirtayasa bisa gagal." Jawabnya santai. Kini tangan kanannya bergerak untuk mengambil remote tv dan kemudian mematikan tv nya.
Bunda Thalia yang sedang khawatir terpancing emosinya. Bagaimana suaminya bisa sesantai ini menghadapi situasi genting seperti ini?!
"Mas! Thalia gak bersalah! Kenapa anak yang tidak bersalah harus dipenjara sedangkan anak yang bersalah dibiarkan untuk berkeliaran dan menikmati kekayaan? Yang harusnya dipenjara itu—"
"Berhenti membela anak itu bunda! Kenapa kau selalu saja membela anak urakan itu?" Perkataan bunda terpotong karena ayah yang memotongnya dengan cepat.
Bunda menatap suaminya heran, tidak biasanya ia bersifat tidak peduli seperti ini.
"Kenapa kau jadi tidak peduli padanya? Padahal dulu kau sangat menyayanginya?!"
"Hahhhh" ayah Thalia mendesah malas. "Saya sudah letih untuk berpura – pura peduli dan sayang kepadanya. Tidak bisakah kau berhenti memikirkan anak itu dan hanya terfokus pada Thania?"
"Mas! Thalia juga anak kita! Kenapa kau selalu membanding – bandingkan mereka?!" Bunda berteriak marah pada ayah Thalia. Ayah Thalia kemudian menanggapinya dengan santai.
"Berhenti menyebutnya anak kita. Saya sudah muak dengan kata – kata itu."
"Apa?! Tapi Thalia memang anak bungsu kita mas!"
Ayah Thalia bangkit dari kursinya dan beralih posisi menjadi berhadapan dengan istrinya. Bunda Thalia kini sudah tidak bisa menahan air matanya lagi.
"Saya sudah peringatkan kamu dari dulu bahwa jangan mengadopsi Thalia. Memang Thalia dulu sangat baik dan sopan juga penurut. Tapi sekarang? Saya bahkan tidak bisa berkata – kata."
"Mengadopsi? Thalia anak kandung kita mas!"
"Sadar bun sadar! Dia anak dari adik kamu yang sudah meninggal! Dia kembarannya Devan!" Teriak ayah Thalia.
"Tapi dia sudah saya anggap sebagai putri kandung saya sendiri! Saya menyayanginya seperti saya menyayangi Thania!"
"Lantas kenapa kamu hanya mengadopsi Thalia? Tidak dengan Devan? Kau sudah memisahkan saudara kembar itu, apa kau tidak sadar? Sebaiknya kau segera membongkar rahasia ini. Biarkan Thalia mencari ayah kandungnya, dan biarkan dia mengetahui bahwa ibu kandungnya ternyata ibunya Devan, aunty nya yang sudah meninggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
So Far Away ✔✔✔
Teen FictionMencintaimu adalah hal yang paling menyakitkan. Setiap hari aku selalu membayangkanmu dan menangis, tanpamu aku tidak bisa melakukan apapun. Aku selalu mengawasimu dari kejauhan. Seperti angin dan debu, yang tak bisa ku tangkap walau kau sedekat nad...