Year 1899
EdoHujan deras turun membasahi bumi. Malam bertambah dingin. Pandangan semakin buram karena butir-butir air hujan jatuh ke mata.
Pedang itu menancap di tanah. Sebuah tangan bertumpu di atasnya. Sarung tangan hitam membungkusnya. Dan lengan kariginu biru gelap menutupi lengannya.
Darah mengalir dari lukanya, menggenang, bercampur dengan genangan air dan lumpur.
Dan embun napas itu menguap, keluar dari mulutnya yang terbuka.
Napasnya terengah-engah... Samurai itu... Mikazuki Munechika. Ia terluka setelah melawan para pembuat ulah yang marah karena perkataannya.
Apanya yang salah dengan mati muda? Apanya yang salah dengan prinsip hidupnya?
"Ugh!"
Mikazuki meringis. Cahaya memancar dari luka-luka di sekujur tubuhnya. Cahaya putih yang terang dan hangat, menerangi malam seperti bintang terang. Luka-luka Mikazuki menutup dengan sendirinya.
Cahaya itu pun menghilang.
"Gah! Hah... Hah..."
Mikazuki membuang napas cepat-cepat. Selama penyembuhan, ia menahan napasnya.
Ia menoleh, ke arah samurai muda yang baru ia temui tadi sore. Mereka mengobrol sepanjang jalan. Mereka pergi ke tempat yang sama.
Ke Edo...
Tempat ilmu pengetahuan dan teknologi barat mulai berkembang semenjak kekaisaran Meiji dimulai.
"Doshite," lirih Mikazuki begitu menekan leher samurai itu. "Kenapa kau mati semudah ini? Sayang sekali... Kupikir aku mulai menyukaimu."
Mikazuki mengatupkan tangannya, mendoakan arwah samurai itu. Kemudian ia pergi, memungut dua tiga keping uangnya yang terjatuh. Ia berjalan menembus hujan dan gelapnya malam.
Kedai kecil yang dikunjunginya itu berada di pinggir jalan, terpencil dari kota, dikelilingi sawah dan padang rumput liar. Kota masih sangat jauh dan malam semakin gelap dan berbahaya. Kapan saja, petir bisa menyambarnya.
Mikazuki seakan tidak peduli dengan semua itu. Walau bajunya yang basah memberatkan langkahnya, ia terus berjalan.
Tidak mungkin jika ia berhenti sekarang.
Minimalnya, ia harus mencapai pohon itu. Ya, pohon kesemek yang tumbuh di pinggir jalan itu. Kanopinya begitu lebar dan buahnya besar-besar, keemasan, merah seperti lentera. Hujan tidak bisa menembusnya.
"Hehehe... Lihat si bodoh itu! Uangnya banyak juga," ejek seorang pria di bawah pohon itu.
"Kau gila, Aniki! Kita sudah bunuh dia tapi kita terjebak di tempat seperti ini," ujar adiknya yang menggigil kedinginan.
"Hah~ Apa jangan-jangan ini karma," ujar pria berkepala botak.
"Hei, apa yang kau bicarakan? Ini kesempatan emas kita! Dewa melindungi kita! Kita diberi sasaran empuk sepertinya... Kita harusnya bersyukur!" tegur pria itu.
Si botak memincingkan matanya ke kejauhan. Rautnya berubah begitu melihat Mikazuki. "Ini jelas karma kita."
Mereka bertiga menunjuk ke arah Mikazuki yang berjalan seperti orang sehat di mata mereka. Padahal... tiga teman mereka sudah melumpuhkannya.
Itu pikir mereka.
"M-m-mustahil... Aniki! Dia... Dia onigen!!" pekik sang adik, mengambil ancang-ancang untuk kabur.
"Dasar bodoh!!" gertak pria itu, memukul kepala adiknya. "Kita mungkin sudah membunuh orang. Mungkin kita masih memikirkannya. Tapi kita tidak sadar! Coba pakai otak kalian! Mungkin kita berhalusinasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lantern Light Samurai
Fanfiction(Reader x Touken Ranbu) "Mikazuki, apa impianmu?" "Aku hanya ingin mengabdi walau tubuh ini sudah tak berguna lagi..." "Datanglah ke gerbang berlentera merah. Aku akan mengabulkan permintaanmu." FANFICTION TOUKEN RANBU ALTERNATE UNIVERSE