Masih di rumah Tommy yang super megah, selagi aku memakan cemilan yang disuguhkan Tommy, tak lama aku melihatnya sedang menyiapkan persiapan makan malam di ruang makan, dan kemudian dia menyajikan makanan di meja dengan sangat elegan. Dengan piring di tengah-tengah dan sendok juga garpu di taruh di samping piring plus serbet layaknya sedang berada di restoran.
Rupanya dia sangat cekatan. Mungkin dia bukan tipe cowok yang manja pikirku, dan entah mengapa seperti ada rasa kagum yang begitu besar pada Tommy. Dan tak lama setelah aku menghabiskan minumanku, aku langsung ditawari makan malam.
" Yuk makan, sudah waktunya nih." dia menawarkan dengan lembut. Langsung saja aku tanpa pikir panjang menuju meja makan.
" Sepertinya enak nih," komentarku tiba-tiba, " oh ya, kamu sekolah dimana, kok aku nggak pernah lihat kamu setiap pagi atau sore pas pulang sekolah. Kamu nggak baru aja pindahkan?" aku langsung to the point agar semua keresahanku terjawab semua.
" Oh,,, aku nggak sekolah reguler kayak kamu atau kebanyakan orang. Aku...homeschooling." seperti malu-malu dia menjawabnya.
" Ohh, homeschooling. Pantas aja jarang lihat. Emang apa enaknya sih homeschooling. Kan di rumah aja sekolahnya, udah gitu kita kayak nggak punya teman ?" pertanyaanku mulai merembet kemana-mana.
" Enak juga sih, pertama kita bisa lebih fokus belajar dan nggak kebanyakan main. Sudah gitu bisa lebih intens belajar sama guru kita. Dan kita nggak perlu juga dari hari senin sampai jumat keluar rumah. So kita punya banyak waktu luang buat hal-hal lain yang ingin kita kerjakan. Kayak lebih banyak waktu buat hobi kita, atau waktu buat keluarga misalnya." jawabannya jelas dan padat. Mirip seperti jawaban mahasiswa yang lugas dan jelas.
" Berarti kamu punya banyak waktu luang dong buat hobi dan keluarga?" aku jadi semakin penasaran dengan kehidupannya.
" Kalau keluarga sih nggak juga, ayahku sering banget malah keluar rumah, bahkan sampai hari sabtu dan minggu pulang malam. Mungkin... karena yah, banyak kerjaan sama klien-kliennya. Begitu juga mamaku yang nggak kalah sibuk. Tapi kalau buat hobi selalu ada waktulah. " klien, pikirku, pasti ayahnya pengusaha sukses.
Sebenarnya aku ingin bertanya lagi mengenai ayahnya, tetapi mungkin agak kurang etis bertanya pekerjaan, nanti disangka aku cewek matre lagi yang mau melorotin uang bokapnya.
" Emang hobi kamu apa aja?"
" Ya banyak sih, aku suka gambar, kayak bikin komik-komik gitu. Aku juga suka fotografi." wajahku langsung merah.
" Oh yah, wah itukan hobi yang keren banget. Maksudku kayak fotografi yang lagi ngetrend sekarang ini kan, dan itu bisa disebut hobi yang cukup mahal loh." apalagi kalau fotografer yang sudah pro pasti harga kameranya juga puluhan juta.
" Iya begitulah, pake kamera SLR bukan kamera handphone kayak anak-anak alay zaman sekarang." sepertinya tak berhenti begitu saja kekagumanku pada Tommy, masih SMA tetapi seperti sudah serius kalau menyangkut hobi. Padahal aku dan teman-temanku saja belajar masih tidak serius apalagi menyangkut hobi, sama sekali tidak terpikirkan. Karena motto kami adalah SR3M, Sekolah, Rumah, Mall,Main,Makan.
" Berarti aku alay dong, hehehe " aku tertawa malu.
" Bukan begitu maksudnya. Maksud aku nggak masalah kita pakai kamera apa saja, asal kalau kita punya hobi harus diseriusin nggak cuma sekedar hobi mengisi waktu luang saja."
" Tapi kan kalau fotografer modalnya harus gede." protes aku.
" Kita kan bisa ikut komunitas terlebih dahulu, dari situ baru kita tahu celahnya."
Sejenak aku berpikir, benar juga pemikirannya." Iya sih, memang benar, aku sendiri juga punya hobi. Hobiku adalah baca buku. Buku apa aja sih tapi kebanyakan buku fiksi, kadang suatu saat aku pengen jadi novelis, tapi kayaknya aku tidak begitu berbakat." pembicaraanku seperti curhatan mendadak.
" Cita-citakan bukan karena cuma bakat, tetapi juga karena ada faktor kerja keras, jadi kalau kamu pengen jadi novelis ya belajarlah nulis cerita yang bagus. Nggak perlu cerita-cerita yang berat, ambil dari kehidupan sehari-hari aja dulu, itu udah lumayan buat belajar." sepertinya apa yang dia bicarakan memang benar, dan rasa kekagumanku sepertinya bertambah. Apa setelah ini aku juga akan serius menulis ya? Entahlah yang terpenting sekarang aku ingin menikmati waktu bersama Tommy.
Pembicaraan kita cukup panjang setelah makan malam. Dari cerita mengenai sekolah homeschoolingnya sampai hobi gambar dan fotografinya. Bahkan dia memberikan aku sebuah sketsa seorang cewek yang kalau diperhatikan cukup mirip dengan wajahku.
Aku tidak tahu kapan dia menggambarnya. Mungkin dia memimpikannya, dan seketika hatiku jadi melambung tinggi. Tidak hanya itu, nasehat-nasehat yang diberikannya juga sangat mengena sekali. Bahkan ketika obrolan kita sampai ke masalah gebetan di sekolah, pendapatnya cukup unik.
Jadi menurut dia kalau kita suka dengan seseorang tidak peduli itu cewek atau cowok yang menyatakan perasaannya terlebih dahulu, kalau kita memang suka ya nyatakan saja, karena di zaman sekarang tidak ada yang namanya cowok yang harus nembak terlebih dahulu atau cewek yang kasih sinyal, karena menurutnya bukan zamannya lagi kita membeda-bedakan gender kita dalam pergaulan. Dalam pendapatnya aku bisa menyimpulan bahwa pemikirannya cukup kritis dan antimainstream.
Seiring waktu berjalan dengan obrolan-obrolan yang menyenangkan, jarum jam pendek menunjukkan angka setengah sepuluh dan kita menyudahi pertemuan ini. Lalu dia mengantar aku pulang sampai ke depan rumahku. Dan dengan ucapan "selamat malam" kita berpisah tepat di depan pagar rumahku. Dan setelahnya hanya wajahnya yang berada dibenakku. Dan aku sangat terkesan mengobrol banyak dengannya.
Pagi-pagi sekali pada hari minggu besoknya aku terbangun, berharap hari ini layaknya kemaren malam bersama Tommy. Sempat aku berpikir untuk kerumahnya hari ini juga melanjutkan perbincangan santai semalam, namun kuurungkan, karena aku malu, apa kata orang ada cewek sering main ke rumah cowok apalagi belum diajak sama cowoknya. Dan tiba-tiba suara mama membuat aku tersentak dari ingatanku tentang Tommy.
" Ros, ada surat nih buat kamu dari kantor pos." surat pikirku, dari siapa. Aku tak merasa pernah berkirim surat dengan siapa pun. Sahabat pena pun aku tidak punya, lagi pula apa masih zaman surat-suratan fisik hari gini. Daripada penasaran langsung saja aku menghampiri mamaku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur.
" Mana ma?" aku langsung menanyakan.
" Nih, tertulis buat kamu, ada di depan rumah, kayak dilempar sama tukang pos gitu saja." dan ternyata memang benar ada namaku. Tetapi aku bingung hari inikan hari minggu, mana ada tukang pos keliling hari minggu.
" Tapi tunggu dulu Ros, inikan hari minggu, memang ada tukang pos hari minggu?" akhirnya mamaku sadar juga.
" Ada kali ma, tukang posnya lagi lembur." Aku menjawab asal karena aku buru-buru pergi ke kamarku, takut-takut mamaku curiga dengan isi surat ini.
Dan setelah kubuka isinya, ternyata bukan sebuah surat melainkan kartu pos bergambar suasana malam yang indah dengan latar belakang kota paris, dan disampingnya tertulis " Semoga selalu bermimpi indah bagai bintang di langit malam, seperti langit yang terus kau pandangi selama ini ".
Aku berpikir keras siapa pengirimnya, tak ada nama pengirim. Kartu pos ini pasti diantar langsung, mana mungkin ada tukang pos di hari minggu, pikirku. Lalu kalimat " semoga selalu bermimpi indah bagai bintang di langit malam " membuatku hanya terpikir satu nama, Tommy, karena hanya dia yang selama ini mengamatiku sedang melihat-lihat langit malam.
Oh My God, kejutan apalagi yang dikasih Tommy buat aku. Entah apa maksudnya dia memberikanku kartu pos seperti ini. Pertama mengapa tidak ia berikan saja semalam sebelum kita berpisah, kedua apa maksud dari kalimat ini. Yang pasti aku tidak tahu maksud dia memberikanku kartu pos yang dia kirim sendiri, tetapi aku yakin dia menaruh hati padaku.
Namun semua ini terlalu cepat berjalan sempurna. Haruskah kubalas pemberiannya? Tetapi balas dengan apa? Dan kata hatiku berkata bahwa biarlah waktu yang menjawabnya.
80�l�Wӱn
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Jatuh
Teen FictionBintang jatuh membawa Rosa bertemu dengan Tommy, cowok yang selama ini didambakannya. Semenjak bertemu denagnnya, pikiran Rosa tidak pernah lepas dari Tommy, berikut kekagumannya. Tapi apakah Bintang Jatuh itu benar-benar nyata? Sebuah Novelet yang...