Scene Two

63 9 1
                                        

Satu dasawarsa berlalu dan gue baru update lagi. Hehehe.

Selamat membaca! ^^

***

"Lo lama banget deh, ngapain aja sih, Za?" omel Dea ketika Giza sampai di hadapannya.

Giza berusaha mengatur deru napasnya setelah berlari sepanjang koridor. "Sorry... sorry...," ucapnya terengah-engah. Merasa lega karena tidak ada yang mengikuti.

Dea memutar bola matanya. Tanpa menunggu jawaban Giza atas pertanyaannya, gadis itu menyerahkan ransel yang sedari tadi dia peluk kepada pemiliknya. "Nih tas lo. Yuk, buruan katanya mau jengukin Ira?"

Mereka berdua lantas berjalan menuju parkiran. Sepanjang perjalanan, Giza menimbang-nimbang apakah dia perlu memberitahu Dea tentang apa yang terjadi barusan atau tidak.

"Kita mau bawa apa nih? Masa jenguk orang sakit dengan tangan kosong?" Dea membuka jok motornya, mengeluarkan helm untuk Giza.

Giza menerimanya dan lantas memakai benda tersebut di kepalanya. "Kita bawain aja dia bunga."

"Setau gue yang suka bunga itu elo, deh." Dea mengernyit. "Emang Ira juga suka?"

"Ini bukan tentang dia suka atau enggak. Kadang, beberapa pemberian dilihat berdasarkan siapa yang ngasihnya. Kalau yang ngasih adalah seseorang yang berharga untuk kita, apapun pemberian dia, kita pasti suka. Iya, 'kan?" Giza mengedip-ngedipkan matanya dan memasang senyum tipis.

Dea berdecak lalu menyalakan motornya. Kendaraan itu melaju keluar area sekolah, mencari toko bunga.

Namun, bahkan sampai mereka menemukan sebuah toko bunga, Giza belum menceritakan apapun perihal kejadian di belakang kelas bersama Rocky.

Kelewat bersemangat, Giza turun dari motor bersamaan dengan kendaraan tersebut berhenti di depan sebuah toko bunga.

"Giza!!!" teriak Dea, terkejut dengan kelakuan sahabatnya dan menyebabkan motornya sedikit oleng. Beberapa waktu kemudian, gadis itu menghela napas. "Kebiasaan, deh."

Giza menyeringai tanpa rasa bersalah dan hampir lupa melepas helm jika Dea tidak mengingatkannya.

Giza mendorong pintu toko. Aroma wangi dari berbagai jenis bunga sontak menyergap indra penciumannya. Sudut-sudut bibir gadis itu terangkat secara otomatis.

Seorang karyawan menghampiri Giza dengan senyum profesionalnya. "Selamat datang di Toko Bunga Siena. Cari bunga apa, Mba?"

"Ada bunga blue salvia?" tanya Giza.

"Ada. Mari lewat sini."

Giza mengekor karyawan ke tempat yang dituju.

"Ini bunganya, Mba." Karyawan itu menunjukkan sekumpulan bunga biru.

Giza mengambil salah satu bunga lalu menciumnya. Ketika pundaknya ditepuk dari belakang, gadis itu menjauhkan bunga dari hidungnya kemudian menoleh. "Eh, coba deh cium bunga ini, De. Harum."

Dea melakukan hal yang diperintahkan Giza. "Kita mau ambil bunga yang ini?"

Giza mengangguk. "Lo tau? Setiap bunga itu memiliki makna tersendiri. Contohnya blue salvia ini. Bunga ini melambangkan penyembuhan dan perhatian yang sangat besar. Cocok dikasih ke orang yang lagi sakit."

Dea mengangguk sebagai tanda persetujuan. Kalau masalah bunga, Giza pakarnya.

Giza menatap karyawan yang masih berdiri di sampingnya. "Mbak, kita ambil bunga ini. Tolong jadiin bouquete, ya," katanya.

"Baik, bunganya saya kasih ke karyawan perangkai bunga dulu nanti ambilnya di kasir, ya, Mba." Pelayan itu mengambil beberapa bunga blue salvia lalu berjalan menjauh.

"Mba, tunggu. Ada bunga dafodils nggak?"

Menghentikan langkah, pelayan itu menoleh. "Dafodils lagi kosong, Mba."

Bahu Giza turun seketika.

"Buat apa lo nyari bunga dafodils?" tanya Dea.

"Buat di kamar gue. Dari kemarin gue cari-cari tuh bunga di beberapa toko bunga tapi selalu aja kehabisan. Padahal bunga dafodils di kamar gue udah pada layu."

***

"Mba, saya ambil bunga Angelica. Tolong jadiin bouquete dan kasih aromatik lavender."

"Baik, nanti bunganya bisa diambil di kasir. Silakan tunggu sebentar."

Rocky kembali mengecek jam di tangannya. Pukul tiga sore. Jika jalanan tidak macet, dia bisa sampai Bandung sebelum senja.

Sembari menunggu bunga pesanannya siap, Rocky menyapukan pandangan ke sekeliling. Lalu matanya tidak sengaja menangkap sosok yang familiar.

Rocky menyipitkan matanya. Memastikan bahwa objek yang dilihatnya adalah nyata. Dia adalah cewek yang menghampirinya di belakang kelas tadi. Rocky yakin dia tidak salah lihat karena dia ingat betul, cewek itu memiliki rambut sehitam batu oniks, mengenakan kemeja yang pas di tubuhnya--tidak terlalu ketat juga tidak terlalu longgar--dan rok abu-abu selutut, tidak seperti gadis SMA lainnya yang bangga memamerkan sebagian pahanya.

"Mba, tunggu. Ada bunga dafodils nggak?"

"Dafodils lagi kosong, Mba."

"Buat apa lo nyari bunga dafodils?"

"Buat di kamar gue. Dari kemarin gue cari-cari tuh bunga di beberapa toko bunga tapi selalu aja kehabisan. Padahal bunga dafodil di kamar gue udah pada layu."

Rocky menyunggingkan senyum miring. Mendengar percakapan itu, tiba-tiba sebuah ide gila terlintas di otaknya.

"Ini, Mas, bunganya." Rocky mengerjap. Mengalihkan pandangannya dari gadis itu, lantas mengambil bunga pesanannya dan keluar dari toko bunga.

***

"Udahalah, Ra, jangan nangis terus. Mata lo kayak abis kena tinju, tauk!" Giza mengusap-usap bahu Ira dengan lembut.

Ira duduk di atas kasur sembari memeluk lututnya. Kedatangan dua sahabatnya sedikit berhasil mengurangi kesedihannya. "Gimana gue bisa masuk sekolah nanti? Mau ditaruh di mana muka gue?"

Dea menghela napas. "Nggak bermaksud menyiram luka dengan air cuka, ya. Tapi, cewek yang pernah ditolak sama Rocky itu bukan cuman elo. Itu hal biasa."

Giza mengangguk setuju.

"Terus, gimana gue bersikap di depan Rocky nanti?" Ira melirik Dea, tangisnya kini hanya berupa sesenggukan kecil.

"Cuek aja elah. Mikirin banget, sih," gumam Giza yang langsung mendapat pelototan mata dari Dea.

"Lo harusnya lebih mengkhawatirkan nilai-nilai lo. Tadi pagi lo nggak masuk, jadi nggak ikut ulangan Kimia," ucap Dea.

"Dan," tambah Giza, "lo juga harus lebih mengkhawatirkan kesehatan lo. Jangan mogok makan dan minum cuman gara-gara ditolak cowok. Ayolah, banyak hal lebih penting dari itu."

***

Rocky menggas motornya gila-gilaan di jalanan, membuat beberapa pengendara membunyikan klaksonnya dan memaki. Tapi Rocky tidak peduli. Raganya berada di atas motor, tapi jiwanya tidak menetap di sana. Matanya fokus ke jalan, namun hatinya terpatri pada hal lain.

Angelica.

Hanya menyebut satu nama dan benaknya langsung memanggil sejuta memori yang telah berlalu tanpa diminta. Saling berkelebat, berebut untuk diingat. Tiba-tiba saja rasanya seperti ada yang mencubit hatinya. Rocky mengeraskan rahangnya. Berusaha menetralkan nyeri di dada.

Sudah satu tahun berlalu. Kadang-kadang rasanya lebih cepat daripada itu, tapi juga kadang-kadang satu tahun terasa lama sekali.


Fokus. Fokus.

Matanya memanas dan Rocky menambah kecepatan kendaraannya. Dia hidup di masa sekarang, dengan waktu yang terus berjalan dan segala omong kosong tentang waktu dapat menyembuhkan segalanya.

Badboy SupremeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang