Warna ke-satu

9 1 0
                                    

Kembali terukir senyum ibu yang selalu aku harapkan sepeninggal ayah diakhir masa SMA. Tak terasa sudah 3 tahun ibu tidak menampakkan senyum itu. Rindu ? Yaaah tentu. Rindu apa ? Rindu senyumnya ibu. Bagaimana tidak, tiga tahun sudah ibu menyembunyikan senyum manisnya itu. Tidak hanya senyum yang ibu sembunyikan. Semua lukapun ibu pendam sendiri. Menyibukkan diri agar pura-pura lupa dengan luka yang selama ini enggan ibu bagi pada anaknya.

"Ibu senang ?"

Raut muka ibu seketika berubah. Ahh pertanyaan bodoh yang aku tanyakan. Kalau tersenyum itu maknanya senang. Kenapa aku justru menyadarkan ibu kalau ibu sedang senang. Iya iya , meski tidak selalu bermakna senangkan setidaknya senyum itu tandanya hatinya pura-pura lupa terluka. Bodoh sekali. Dan sekarang , apa yang harus aku lalukan.

"Sekarang sudah malam. Ibu harus ke kamar. Harus kamu ingat. Prawan manis tidak boleh begadang. Atau ibu hukum kamu."

Kata-kata itu lagi.

Ahh ibu, kembali peluklah gadismu sehangat dulu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Paduan warnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang