Dua

674 17 2
                                    


Lie on! While my revenge shall be, to speak the very truth of thee Unknown

                                                                                      *

Rasanya begitu ironis. Duduk di belakang orang yang selama ini dibenci setengah mati tanpa ada rasa ingin membunuh sama sekali. Atau paling tidak, merapal doa-doa agar orang yang sedang mengemudi ini terserang penyakit kudis, kurap, panu dan kutu air sekujur tubuh.

Ari make pelet apaan, ya?

Sengaja Tari menyuntik pikiran-pikiran random seperti itu dalam kepalanya. Agar ia dapat melupakan kejadian tadi pagi, di mana kembaran sang biang onar menemuinya kemudian memberinya suatu peringatan, ralat, ancaman, yang membuat bulu kuduknya meremang serentak.

Lo... bakal... sering... nangis...

Tapi siapa, sih, yang bisa melupakan ancaman mengerikan macam itu? Ya Gusti, baru saja Tari rehat dari drama dengan Panglima Airlangga. Tari sama sekali tidak tertarik membuat sekuelnya, apalagi yang melibatkan si matahari ketiga!

Lo... bakal... sering... nangis...

Ancaman itu terus berputar seperti kaset rusak dan tak ada satu pun hal yang dapat mendistraksi Tari dari kaset rusak itu. Dan semakin Tari memikirkan motif yang masuk akal, semakin ingin pecah kepala Tari.

Apa maksudnya? Akan ada apa? Apa hubungannya dengan Tari?

Pertanyaan yang tak akan bisa dijawab oleh siapa pun selain pihak yang bersangkutan. Tapi sepertinya Ata lebih memilih harakiri dibanding curhat dari hati ke hati dengan Tari. Yang bisa si gadis oranye itu lakukan hanya menghela napas. Berharap agar segalanya berjalan sesuai koridor. Demi Tuhan, Ari baru saja menemukan ketenangan batinnya. Hal yang layak cowok itu dapatkan setelah selama ini berjibaku melewati sejuta duri seorang diri.

Lo... bakal... sering... nangis

Dengan sekali tatap Tari sudah bisa tahu bahwa Ata sama sekali bukan orang jahat. Sama sekali bukan. Tetapi Tari juga tahu. Sorot mata itu, nada bicara itu... suatu pertanda akan tandangnya satu bencana. And it ain't good, at all. Setidaknya, bagi kesehatan jiwanya.

"Pegangannya yang bener, Tar. Kalo nggak, lo bisa jatuh."

Kata-kata Ari yang lembut namun dengan nada memerintah sontak membuyarkan lamunan Tari.

"Yeee, gue juga pegangan, kok. Pegangan tas!"

Decak kesal Ari terlontar. Gadisnya memang terlampau keras kepala. Mungkin butuh sedikit diberikan shock therapy agar lebih menurut.

"Lo kira gue ojek? Udah, deh, Tar. Peluk gue aja. Nggak usah malu-malu."

Tari memukul bahu Ari sebal. "Idiiiih, apaan sih? Nggak usah aneh-aneh, deh!"

"Gue suka cewek hardcore."

Ari tergelak ketika cubitan Tari melayang di pinggangnya. Memancing dirinya untuk menggoda gadis oranye ini lebih parah.

"Wah..., ternyata udah berani genit ya sekarang. Sok nyubit-nyubit mesra."

"Kak Ari!" jerit Tari kesal.

"Makanya..., peluk! Atau nanti gue nggak pake rem pas bawa motornya," ancam Ari.

Tari menghela napas. Bagaimana Tari bisa lupa bahwa si Tuan Besar ini begitu keras kepala dan harus dituruti segala kemauannya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Matahari di Langit SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang