Bab 08

105 3 0
                                    

Andra

Tepat ketika arloji menunjuk pukul empat sore, aku duduk di bangku taman ini. Aruna belum datang, dan aku pikir sebuah puisi bisa menemaniku bermain-main dengan langit. Setidaknya, puisi-puisi yang kutulis bisa menjadi teman untuk menemaniku saat ini. Aku mengeluarkan pena dan notebook mungil dari dalam tas pingganggku.

Aku memejam mata sejenak, meresapi dinginnya sore ini, dan kemudian membuka kembali mata dan menulis kata demi kata:

Angin berbisik, laut melirih;

pada nyanyian bangau putih

mengalun pedih

di antara sesepoi angin malam

gugur dedaunan jatuh meningkah;

punggung-punggung kita yang ringkih

tak kuat menahan sesal

masa lalu

laik nyanyian bangau putih

risau, menangis sendirian

Lihatlah deretan samudra;

di sepanjang peta

dan gugus bintang ursa

membelah semesta

di mana pun dulu kita pernah berada

Apakah dunia kita masih sama;

atas-bawah berbatas tipis

hanya dipisah luka-luka lama

membunuh dirinya sendiri

dari utuh menjadi separuh

Lalu, berdoalah pada hujan;

petrikor mulai menghunus resap

tepat di jantung kerinduan

pada anganku; anganmu

jatuh menimpa dedaunan kering:

itulah kisah kita

serupa kitab lama

membelah bumi dan langit

untuk kisah cinta yang terpetak

menjadi labirin sunyi tiada ujungnya.

Rasanya lega selesai menulis puisi ini. Rasanya ada sebongkah masa lalu dari jurang kegelapan yang mulai terlepaskan. Aku menghela napas dalam dan memejam mata, kembali. Sesepoi angin membelai tengkuk.

“Andra?” sebuah suara yang kukenal mengalun dari arah kiriku. Aku membuka mata. Aruna.

“Sedang apa kamu di sini, Ndra? Aku baru melihatmu lagi setelah hujan dulu itu,” ujar Aruna, tatapan teduhnya membuatku sedikit hilang konsentrasi.

Aku selalu melihatmu setiap hari, Aruna. Tanpa sepengetahuanmu, tentunya.

“Ah, tidak, aku hanya ...,” Aruna memerhatikan notebook yang sedang kupegang, “ingin menulis saja ....”

Guratan wajah Aruna berubah serupa seorang anak yang menginginkan sesuatu. “Wah, menulis apa? Boleh kulihat?”

Memang tidak ada niat untuk bertemu Aruna sebenarnya. Aku memang biasa mencuri waktu sebelum kedatangannya untuk duduk di bangku taman ini. Namun hari ini aku ketahuan olehnya. Aku pun menyerahkan buku itu.

Sementara seseorang lelaki yang sedang memotret di sana, tampak sesekali mencuri pandang pada Aruna. Apa dia tertahan karena ada aku yang sedang berbicara pada Aruna? Dia lelaki yang acap berbincang dengan Aruna.

Aku tahu Aruna suka pada lelaki itu. Setidaknya itu yang kuperhatikan selama seminggu ini ketika keduanya terus berbincang di bangku itu dan pasti momen-momen manis. Aku pikir kesempatanku sudah hilang.

Biarlah buku itu menyatakan segalanya.

Karena Jatuh Cinta adalah Patah Hati Yang TermaafkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang