Maaf.

263 44 18
                                    

Satu hari

Satu hal

Satu memori

Satu sesal

Satu momen misteri

Satu momen emosional

Dan satu kata yang selalu ingin kusampaikan kepadanya

.

-.-

.

Dari balik kaca yang berembun aku dapat menyaksikan lalu-lalang. Kaki-kaki yang menapaki hujan. Rintik air yang menerpa jalan. Terlalu banyak kontak. Terlalu banyak kejadian di sebatas sudut jalan sempit yang dipenuhi orang. Berdesakan. Berteriak. Berlomba dengan waktu bersama selebaran biru.

Dan satu-satunya yang kontak denganku hanya refleksi.

Refleksi diriku yang samar di antara embun kaca buram, menatapku.

Memberitahuku betapa menyedihkannya kondisiku saat ini.

Tanganku masih menggenggam gagang telepon tua itu. Warnanya merah tua, senada dengan besi-besi yang tersusun rapi untuk membingkai ruang di sekitarku. Sistematik. Teratur. Sebagaimana telingaku mengatur diriku untuk mengabaikan setiap ketukan di kaca yang sudah entah ke berapa kalinya. Memintaku untuk keluar. Pinta berubah paksa. Lantaran sudah terlalu banyak waktu yang kubuang.

Kubisikkan seuntai kalimat yang sama, mungkin untuk kesepuluh kalinya hari itu, ke lubang demi lubang demi di sudut telepon. Biar mereka yang menyampaikan pesanku pada dia, atau dia, yang saat ini tidak bisa dapat kupastikan di mana keberadaannya.

"Dia baik-baik saja, kan, Bibi?"

Kusudahi dengan tarikan napas berat. Setengah mengharapkan jawaban yang sama, setengahnya lagi mengharapkan jawaban yang berbeda. Biar perubahan itu yang memicu gejolak emosi di hatiku, membangunkanku dari fase setengah matiku saat ini.

Suara itu menghampiriku. Bunyinya masih sama.

"Ya, Jaewon...dia baik-baik saja."

Namun kali ini terdapat beberapa tambahan.

"Dia menuruni panggung dengan mantap. Dia terlihat bahagia. Dia tersenyum, Jaewon."

Aku membuka mulutku, memaksakan beberapa kata untuk keluar. Namun tak satupun mau melompat dari kerongkonganku.

"Tidak ada penyesalan, Jaewon."

Usahaku berhenti sampai di situ. Kutatap sudut jalan yang mulai kehilangan langkah kaki. Bayangan-bayangan biru yang mulai lenyap. Riuh-rendah yang dilarikan oleh angin.

"Tidak ada satu penyesalanpun darinya. Kesedihan itu pasti ada. Tetapi Bibi berjanji dia akan baik-baik saja."

Aku menutup mataku.

"Jadi kau bisa berhenti merasa khawatir, Jaewon."

Dan membiarkan bulir-bulir itu menelusuri wajahku.

.

-.-

.

Perasaan berdosa itu kembali menyapaku ketika aku terbangun di kamarku pagi ini. Ia muncul melalui beberapa pemberitaan yang kubaca dengan kondisi kepala yang sangat berat. Tetapi aku bisa mencerna semuanya dengan baik. Mereka semua menceritakan hal yang sama.

Sama-sama tidak menceritakan sosok kesayanganku.

Kupaksa tanganku meraih satu-satunya alat komunikasi kupunya. Kuabaikan beberapa tawaran makan pagi bersama dari rekan-rekan agensiku. Aku terlalu sibuk untuk itu.

Maaf. | 1Punch / JaewonxSamuelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang