Suara aliran sungai di kanal membuatku lebih tenang. Meski hanya memandang sungai ini, aku sudah bisa merasakan kedamaian. Mataku terpejam selama beberapa saat. Kutengadahkan kepala, merasakan embusan angin malam. Aromanya begitu mendamaikan. Ah, aku sungguh lelah dengan kegilaan ini. Seorang bintang, biarpun cantik dan dikenal seantero negeri, tak ubahnya budak tanpa kemerdekaan di zaman ini.
"Mama. Apa yang harus kuperbuat? Aku tak mampu membebaskan Magdalena sesuai perintahmu."
Aku menghela napas panjang. Overstraten memegang kuat tali kekang Magdalena. Untuk mengambilnya tak semudah membalikkan telapak tangan.
"Dara jelita ini, mengapa tiap malam berdiri dengan muka seperti ini di sini?"
Mendengar suara yang sudah familier dan membuatku jengkel, kelopak mataku terbuka. Menoleh, kudapati Panji menyulut pemantik pada rokoknya. Ia menyengir melihat ekspresi wajahku.
"Bisakah kau tutup mulut?"
Ia memeragakan mengunci mulut dengan rokok yang menyumpal bibirnya. Tingkahnya memang menyebalkan. Untuk sekarang, aku tidak sedang dalam suasana hati baik menanggapi omong kosongnya.
"Soal artikel itu...."
"Tulis saja," tantangku. "Sebentar lagi aku akan tampil di pesta pengusaha Inggris. Di sana, aku akan mengatakan bahwa..." aku menatap Panji yang mendengarku dengan saksama. "Bahwa aku terlibat banyak skandal dengan pejabat Hindia-Belanda. Overstraten yang ada di belakangku. Aku bekerja untuknya sebagai pelacur. Puas?"
Panji tak berkedip sedetik pun setelah mendengar penuturanku. Ia mengambil rokok di bibirnya dan menelaahku dengan saksama. Tak kubalas lesatan anak panah dari sepasang mata tajamnya. Aku memandang ke depan. Kosong.
"Kau tak sedang bercanda, kan?"
"Aku cukup waras. Mana mungkin bercanda untuk urusan krusial macam ini. Jika kau benar-benar ingin hancurkan karierku. Silakan. Buat artikel itu. Toh hidupku sudah tak ada manfaatnya." Menghela napas panjang, aku memandang langit petang.
Terdengar kekehan Panji yang sontak membuatku memandangnya heran. Ia menjatuhkan puntung rokok.
"Pikiranmu sedang tak waras? Mengapa kau sangat putus asa, heh?"
"Kau tak akan memahani kehidupan seseorang sepertiku. Sibuklah dengan urusanmu untuk membantu memerdekakan negeri ini. Jangan kau urusi aku."
Decakan Panji terdengar mencemooh. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, El. Ikutlah denganku."
"Wat?"
Tak memedulikan pertanyaanku, Panji meraih tanganku dan menyeretku, memintaku ikut dengannya. Aku mengikutinya berlari menyusuri kanal, lantas memasuki gang sempit, entah akan diajak ke mana. Berulang kali aku memintanya berhenti, namun ia tiada mendengarku barang sekali. Aku yang telanjur kesal menariknya sampai membuat langkah kami berhenti di depan rumah bordil.
"Apa yang kau lakukan? Menarik tangan orang seenaknya. Sungguh tak sopan!" Aku tersadar ketika melihat wanita-wanita penghibur di rumah bordil di sampingku. Mulutku ternganga. Aku memandang Panji dengan mata berkilat, lantas sejurus kemudian melayangkan tamparan.
Panji yang kaget mendapatkan tamparan dariku menatap lekat. "Waarom, El???"
"Dasar tidak senonoh! Untuk apa kau ajak aku ke lingkungan prostitusi?!" Teriakanku mengundang perhatian orang-orang sekitar. Sontak, Panji membekap mulutku, memintaku diam. Aku meronta keras. Injakanku di kakinya membuatnya melepaskan bekapan.
"Siapa pula yang mengajak kau ke rumah bordil?" Matanya melebar. "Maaf, meski bila aku seorang bajingan, aku cukup pikir panjang berurusan dengan perempuan macam kau di ranjang."
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMSARA (ON HOLD)
Narrativa StoricaTidak tahan dengan kediktatoran ibunya membuat Agnia Zarathustra memilih kabur dari rumah dan melempar dirinya untuk melanjutkan studi magister di Ilmu Susastra hanya untuk bertemu dengan ayahnya yang bekerja sebagai dosen di sana, meskipun ia tidak...