L'amour vient dans le mauvais sens

669 73 5
                                    


Aku kembali memasuki gerbang Jalan Taman Brawijaya, setelah menyusuri Jalan Antasari berbelok tepat disamping Rumah Sakit Brawijaya.

Ada perasaan tidak nyaman, khawatir  dan takut. Apalagi saat aku harus menapaki tangga rumah seperti rumah yang ada di sinetron Indonesia yang melingkar-lingkar. Rasa takutku apabila tiba-tiba orang tua Nico tiba-tiba muncul dihadapan kami. Apa yang harus aku ucapkan?
Rasa tidak nyaman karena aku merasa memasuki alam lain, seluruh interior rumah terasa mengintimidasiku.

Gemetar sudah pasti
Ah mungkin cocok kalimat Mas Kaesang buat kejadian yang aku alami saat itu.
Ndesssooooo

......................



Kurebahkan tubuhku mengikuti irama dan arahan gerakan Nico yang ia lakukan saat memeluk dan memagutku.
Bau rokok dan minuman keras menguar dari mulutnya yang membuatku berkali-kali menahan mual.

Kulakukan seluruh kemauannya, saat tubuhku meluruh dan menyatu dengannya, aku merasa seperti bonekanya. Tidak ada sedikitpun aku memberontak atau menolak.
Mungkin hanya air mataku yang menetes saat itu yang mengekspresikan apa yang kurasakan.
Aku benar-benar berjuang melepas egoku hanya sekedar membuatnya terkesan, nikmat dan berharap dia lelah setelahnya.

Seluruh nafsunya tertumpah kepadaku dan hal itu menyadarkanku, aku memanglah barang dan bukanlah manusia.

Aku mencoba bertahan untuk tidak terlelap di kamarnya yang aku imajinasikan seperti kuil panthenon, karena semua dinding dicat putih dan beberapa bagian dilapis wallpaper mother of pearl.
Belum lagi perkakas yang aduh aku sampai kesulitan mendeskripsikannya.
Aku berharap jam 7 pagi nanti aku bisa meninggalkan rumah ini.
Sedikit menyesal saja kalau aku tidak bisa mendapatkan uang, toh aku masih bisa mendapatkannya minggu malam nanti.

Pukul 6 pagi aku mencoba untuk bangun, tiba-tiba sebelah tanganku digenggam Nico.
Kupandangi Nico yang memandangku dengan muka yang aku tidak mengerti sama sekali.
Dia duduk dan mengelus punggungku dengan penuh perasaan, dia mengecupku dengan lembut, sangat jauh berbeda dengan yang dia lakukan pada saat malam sebelumnya.

Aku kembali mengikuti iramanya, entah apa ini. Nico semalam berbeda 180 derajat dengan pagi ini.
Untuk pertama kali aku sangat menikmatinya. Kalaupun itu disebut ekstase...yaa itu pertama kalinya aku mencapai ekstase.
Dan akupun rela untuk mengulangi dan mengulangi lagi.
Sementara perasaanku menjadi tidak menentu, seperti aku dihadapkan pada persimpangan. Yang benar menjadi belum tentu benar dan yang salah ada kebenaran disana.

Pada saat akhir, aku tak ingin lagi melepaskan pelukannya. Nico seperti memberikan tempat terdamai, yang aku cari selama ini.
Ingin rasanya menangis bahagia, tetapi aku lelaki yang angkuh dan berusaha menahan seluruh emosi. Dan apalagi ini adalah hal aneh yang tiba-tiba datang begitu saja.

"Lo tinggal disini saja!", kata Nico sambil mengusap rambutku sambil sesekali memagut bibirku.

"Maksud lo? Gue juga butuh duit dan itu gak mungkin kalau gue tinggal disini."

Nico tersenyum

"Itu hal gampang, lo jadi pembantu aja disini. Gue bisa banyak alasan, lo bisa bantu gue belajar juga."

Aku terkesiap dengan kata-kata Nico, memang itu harapanku, tapi tidak seperti ini. Bukan Nico yang mengutarakannya, justru seharusnya aku yang meminta.

"Selain itu, tiap malam lo bisa jadi budak seks gue, jadi gue gak perlu ngelayap cari homo-homo diluar sana.", kata Nico dengan enteng.

An ObituaryOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz