Bab 10

94 3 0
                                    

Andra

Aruna berjanji padaku dia akan membacanya di waktu yang tepat, dan aku harus ada di sampingnya karena akulah sang penulis buku itu. Setidaknya bagus atau buruk katanya, aku harus mengetahuinya pertama kali. Dan itu hari ini.

Aruna membaca buku yang kuberikan itu kemudian terlihat ada sendu merengkuh dirinya, terlihat genangan air di matanya, dia mengusapnya, dan membalikkan halaman demi halaman.

“Ndra ....”

Aku menunduk. Ah, sepertinya dia tidak menyadarinya. Perlahan air mata itu bergerimis dan meriak di pipi.

“Ini tentangku?” tanya Aruna.

Aku terdiam. Terpaku. Haruskah aku mengatakannya?

Aku mengangguk. Rasanya seperti hati ini berontak tak keruan seraya berteriak ‘Katakan! Katakan! Bodoh kau!’ tapi aku menepisnya.

“Mengapa tak kaukatakan saja langsung padaku? Cerita ini selesai tiga hari yang lalu.”

“Aku ingin,” akhirnya lidahku lepas dari belenggunya, “tapi ... kupikir kamu sudah menikmati hari-harimu dengan lelaki yang acap memotretmu itu.”

Aruna mengernyitkan dahi. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Hanya beberapa kali lewat di sini, jalan sore, kamu tahu, dan taksengaja melihatmu,” ujarku.

Aruna hanya terdiam saja. Sesepoi angin berembus, mengempas gugur dedaunan, dan membelai tengkuk kami. Ada rasa hangat menyelusup di antara dinginnya udara. Hari ini aku tidak melihat lelaki yang acap memotret Aruna itu. Ke mana dia?

“Ndra ....” Aruna tetiba mengenggam jemariku. Aku terkesiap. Namun kemudian hanyut dalam genggaman lembut Aruna.

“Aku tidak tahu seperti apa masa lalumu. Sekelam apa, aku bahkan tidak ingin mengetahuinya. Aku suka pembuka cerita ini dengan mendeskripsikan diriku serupa hujan yang kerap membasahi perasaanmu yang kering. Aku bahkan kaget ketika tahu, keseluruhan buku ini adalah ungkapan perasaanmu padaku. Tapi ada satu hal yang kutangkap dari semua cerita di buku ini: kehilanganmu hampir membunuh dirimu sendiri,”

“Maksudmu?” tanyaku, kini aku memberanikan diri menatap bola mata birunya. Kedua pandangan kami bertemu. Hanya sekali ini, aku bisa melihatnya dari jarak begitu dekat. Rasanya senang sekali.

“Bahwa kepergianmu dari kota ini adalah caramu untuk melupakan sosok masa lalumu, seperti di bab tiga kamu menuliskan bahwa dengan pergi dari kota ini, kau berharap sosok di masa lalumu akan memudar dan kamu memulai hidup baru. Namun nyatanya, kamu bertemu dengan seseorang di sebuah taman dan kamu tidak bisa menghentikan dirimu untuk selalu kembali ke taman ini setiap harinya. Hanya saja kehadiran orang lain menahanmu untuk melangkah lebih maju dan bertahan.”

Aruna menguatkan genggamannya. “Kau takperlu mengkhawatirkan lelaki itu. Toh, aku sendiri yang berhak memilih kan? Lagipula aku tahu, kok, kalau kamu suka berdiri di seberang sana setiap hari. Aku hanya berbohong saja tadi.” Aruna tergelak. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“Lalu? Bagaimana kelanjutannya menurutmu?” tanya Aruna.

“Raih kelingkingku jika memang kamu ingin bersamaku. Pergilah jika kamu tidak ingin bertemu lagi denganku.”

Aruna tersenyum. Dia menimbang sejenak. Dan kemudian meraih kelingkingku. “Sekarang dan selamanya,”

Pelan, pelan, dadaku berdesir dan merasa hangat. Hati mendorongku kuat-kuat untuk mendekatinya. Rasanya semesta turut berbahagia dengan menciptakan cuaca yang tetiba sendu. Tidak panas, angin bertiup sepoi, dan rasanya aku bisa mendengar bunyi dedaunan teranggas dari rantingnya.

Kedua bibir kami bertemu. Basah yang memudarkan kekeringan di dalam diriku. Aku meresapinya dalam-dalam. Aruna meresapinya dalam-dalam. Kami terjatuh dalam perasaan yang takterkata-kata.

Sekarang dan selamanya.

Karena Jatuh Cinta adalah Patah Hati Yang TermaafkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang