PROLOG

170 19 5
                                    

"Dhy, kamu tau kan kalau aku nggak tegaan?"

Adhy hanya menggumam sambil masih mengelus rambutku.

"Aku selalu merasa bersalah kalau kita jalan berdua."

"Apa yang membuat kamu merasa bersalah begitu?"

Aku bangun dari pelukannya, menatap matanya yang selalu membuatku terperangkap. Lantas, aku mengalihkan pandanganku. Kalau nggak, aku nggak mungkin bisa melanjutkan omonganku.

"Sampai kapan kita terus menghindari topik ini? Aku capek."

Adhy bergeming di tempatnya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada selimut yang menutupi tubuh telanjangku. Lalu dia kembali mengambil tubuhku dan memerangkp diriku di dalam pelukannya lagi.

"Aku belum bisa beri kamu jawaban. Sabar ya, sayang?"

Aku menggigit bibirku, ingin menangis pun nggak bisa. Berkali-kali mencoba menangis juga tetap nggak bisa. Sampai mempertanyakan diriku sendiri, sebenarnya perasaan aku terhadap Adhy nyata atau semu. Tapi, kalau dipikir kembali, jika Adhy memilih istri dan anaknya dibanding aku, dadaku sesak.

"Kita nikmatin waktu kita dulu, ya?" katanya sambil mengendus bahuku.

"Biar itu kita pikirin nanti."

Aku mengusap pipinya dan mengangguk mengiyakan.

"Andai aku ketemu kamu sebelum dia."

Adhy memasang senyum miring dan mencium bibirku.

"Kamu cinta aku, kan?"

Adhy mengusap pipiku.

"Tentu, aku cinta kamu."

***

Chasing LightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang