Dingin menggeletarkan gigi, musim gugur hampir berakhir. Di pagi yang berkabut dengan santai kami berjalan ke Sekolah Penataran Kastinope. Sambil bersengaja menghembuskan nafas panjang, melihat kepul-kepul uap yang muncul dari mulut kami yang menjungur. Aku dan Marco, hanya berdua, sebagaimana biasa aku bahas. Dan hal yang menjengkelkan jika di tengah jalan kami berjumpa dengan anak-anak lain. Mereka bakal berkomentar tentang apa saja yang melekat di tubuh kami. Atau anggota tubuh kami itu sendiri. Lantas semua pasti diselingi tawa yang nyinyir dan mengejek. Aku malas betul berjumpa mereka, tapi jika sudah kepalang, mau bagaimana lagi. Kami kadang hanya diam, kadang aku ikut buka mulut jika seloroh mereka terlalu konyol dan kelewat batas. Dan sialnya, setiap pagi kami pasti berpapasan di jalan.
Sekolah cukup lumayan jauhnya, sekitar 4 setengah kilo jalan kaki. Jalan setapaknya panjang, pagar batu mengular dengan penuh kesetiaan di sampingnya, membelah padang rumput, di beberapa bagian menyusuri sungai, melewati satu dua rumah tiap 200 meter berjalan. Kastinope adalah desa yang luas, pemukiman penduduk renggang satu sama lain. Kadang berkerumun jika masih satu keturunan keluarga besar atau teman dekat. Renggang dan sunyi. Di waktu-waktu tertentu, sepi membuatmu mampu mendengar degup jantungmu sendiri, merambat melalui daging dan tulang belulang. Atau gosip-gosip yang terbang bersama angin tak terkendalikan kuasa macam apa pun. Desa ini punya banyak padang rumput kosong, berseling semak, beberapa pohon dan bukit-bukit tak seberapa tinggi, lahan-lahan tani dan kebun-kebun anggur. Seluruh lanskap itu dibelah sebuah sungai yang mengairi ladang-ladang. Hutan dan gunung-gunung yang berbaris-barus seolah tak habis, menjadi semacam pagar batas teritorial desa. Menyembunyikan dan mengucilkan ekosistem kecil ini dari dunia luar. Dibikinlah sekolah kami di tengah-tengah tanah ini dengan alasan keterjangkauan. Ladang-ladang kecil dan rumah-rumah tentu sudah jadi hak milik masing-masing rumah tangga sejak pembagian lahan bertahun lalu, sementara lahan-lahan kosong yang menganggur dan berpuluh hektar kebun anggur kepemilikannya atas nama tuan tanah sekaligus satu-satunya keluarga bangsawan desa yang paling sejahtera, keluarga Botha.
*
Jack Botha dan kawanannya, Samuel anak paling besar, Archie dan Ethan yang gemar berbisik-bisik. Kami akan bertemu di tengah jalan itu, kalau mereka di depan, kami akan berjalan lebih pelan, coba tak bikin suara. Sementara dalam kondisi lain yang keparat, kalau kami tak sengaja berangkat dan berjalan lebih cepat hingga ada di depan mereka, Kawanan itu akan gembira sebagaimana gerombolan binatang buas menemukan mangsa setelah lama berpuasa. Maka dalam hari-hari biasa aku coba mengulur waktu. Berangkat dari rumah pada jam-jam paling siang, berjalan lebih pelan. Hari itu untunglah mereka yang berada di depan kami. 3 orang tanpa Archie.
Jack Botha seperti biasa selalu jadi anak dengan sandang paling mewah dari pada siapa pun. Sepatu mengkilap, rambut berminyak dan sebuah tas gendong berlapis kulit. Anak yang lain sekedar baju sederhana, sepatu-sepatu yang dipesan sejak kelas satu, dibikin longgar biar awet dipakai sampai kelulusan dan tahun-tahun seterusnya, tak ada kilapnya sama sekali. Tas pun luput, tak ada. Hanya tali temali mengikat buku-buku kami menjadi satu, membuatnya sekedar lebih mudah dibawa. Hanya itu. Sebagaimana kondisiku dan Marco, lalu anak-anak lain di desa ini yang masih bersekolah. Memang kelihatan sekali timpang kehidupan antara Jack Botha dan anak-anak lain di desa ini. Bagi kami ia seperti makhluk dari alam lain, unik sekali. Maka dari itulah banyak anak yang susah payah mencoba dekat dengannya. Kadang karena masa kanak-kanak mendorong mereka untuk penasaran terhadap barang bawaan Jack Botha yang mewah, dan tak pernah mereka lihat mejeng di rumah mereka yang terlampau kumuh atau sederhana. Atau bagi mereka yang berpikir lebih picik, yang mereka coba dapat adalah keberuntungan Jack Botha itu sendiri, untuk bisa ikut merasakan kemewahan yang sama. Sebagaimana dipercaya bahwa kondisi sosial dan kenyamanan hidup itu bisa menular.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orzul
FantasyNir Orzul adalah seorang anak etnis Kahsf, suku yang dikenal sebagai suku pengembara. Ayahnya mendidik Nir dengan keras demi perjalanannya kelak saat waktu pengembaraanya tiba. Karena cara mendidiknya yang kasar dan tak berperasaan, Nir salalu muak...