Aku selalu menyukai senja, karena katanya ia selalu menyimpan cerita didalamnya, dan karena warnanya selalu terlihat cantik dengan blur-an warna orangenya yang anggun dan menawan. Ia juga menjadi saksi bisu atas rasa abstrak yang tak pernah rasional layaknya bilangan yang tak terdefinisi. Aku tersenyum mengingat tentang itu, bagaimana tidak? Karena sampai detik ini, rasa itu masih tetap tumbuh dan berkembang subur di tempat yang paling dalam di nuraniku.
YYY
Tiga tahun yang lalu...
Hari itu, semua orang di kelas sibuk memperbicangkan tentang kontes pemilihan "Raja dan Ratu semalam" di malam valentine nanti. Padahal waktunya masih satu pekan lagi, masih terlalu lama untuk mempersiapkan hal yang terkesan hanya ajang untuk hiburan saja. Dan aku tak tertarik sedikitpun dengan kontes itu. Baiklah, itu bukan karena aku tak punya pacar atau pasangan yang akan diajak, tapi ini soal memanfaatkan suatu event yang lebih baik dari sekedar hura-hura saja. Hari kasih sayang seharusnya di apresiasikan untuk orang-orang disekitar, seperti keluarga misalnya. Damn! Aku terus saja menggerutukan tentang hal ini.
Suasana kelas masih tetap sama bisingnya dengan satu jam yang lalu, itu karena Pak Brian tak masuk jam ini. Tak ada rumus yang harus diingat, itu lebih baik! tapi, tetap saja aku harus mengerjakan tumpukkan tugas darinya. Seratus pertanyaan tentang aljabar yang nyaris membuatku muntah melihatnya. Ah, selalu seperti ini!
"Nay, rajin banget sih lo ngerjain gituan! Mending lo gabung yuk sama kita, ngebahas buat acara valentine nanti!" ajak Syaqila sambil menggoyang-goyangkan pundakku dari belakang. Aku menoleh.
"Ya, lo tau sendirikan gue sibuk akhir-akhir ini buat lomba pramuka, kalau ngga sekarang ya kapan lagi coba? Maaf banget yah!"
Syaqila diam sejenak, ia menatapku tajam.
"Lo kapan sih ngga sibuk sama kegiatan pramuka? Nay bentar lagi tuh lo 17 tahun, lo emang ngga bosen sendiri terus?" ada tekanan di setiap kata yang diucapkan Syaqila.
"Haha, lo kalo ngomong kemana-mana Qil! Gue ngga sendiri, kan Gue punya kalian, sahabat-sahabat gue. Dan itu udah cukup!" cakapku seadanya.
Kali ini Rara beranjak dari kursinya, ia duduk tepat di depanku.
"Ya ampun Nay, bukan itu maksud kita! Kita pengen lo punya pacar, atau jangan-jangan lo lesbian lagi?"
"Ish, lo kalo ngomong jangan ngawur, Ra! Gue normal kali" tukasku. Mereka selalu saja membicarakan tentang hal ini. Padahal aku hanya ingin menghabiskan masa sekolahku bersama mereka.
"Kalo gitu, lo harus jadi Ratu semalam nanti, gimana? Setujukan, guys?" Anyapun ikut bicara. Aku mendengus pelan. Ah kenapa mereka harus maksa aku sih! Kan kalau balik lomba mukanya pasti hitam, dan dapet gelar itu ngga mungkin! Keluhku.
"Tapi, gue ngga mahir soal cinta, dan ngga mungkin dapet pasangan dalam waktu seminggu, gue ngga mau"
"Ayolah cantik, kita percaya kok lo bisa! Lo mau kan berjuang buat kita?" Rara terlihat sangat memohon sekali.
"Baiklah, untuk kalian dan persahabatan kita" kataku akhirnya. Aku tersenyum dan kami saling berpelukan. Aku benar-benar tak yakin atas keputusan yang baru saja ku buat. Ah semoga cinta cepat datang datang kembali. Ah Tuhan, bahkan aku lupa bagaimana cara mencintai dan merindu seperti masa yang lalu.
YYY
"Gue pulang duluan yah!"
"Besok jangan telat ya, Nay" pekik Raya. Suara itu terdengar remang-remang di gendang telingaku, ya mungkin karena jarakku sudah terlalu jauh dari mereka. Aku memang selalu terburu-buru untuk segera pulang ke rumah selesai latihan, dan ini bukan karena ibu melarangku untuk pulang larut, tapi ini karena senja.
YOU ARE READING
Gara-gara Senja
Short StoryAku selalu menyukai senja, karena katanya ia selalu menyimpan cerita didalamnya, dan karena warnanya selalu terlihat cantik dengan blur-an warna orangenya yang anggun dan menawan. Ia juga menjadi saksi bisu atas rasa abstrak yang tak pernah rasional...