9. Realita Kerja

41 4 0
                                    

*Chandra*

Seperti apa yang sudah di sepakati, aku boleh bekerja bila telah selesai kuliah. Artinya uang belanja untuk nuna, bukan dari Mama lagi. Aku paham uang yang aku kasih tak pernah dipakainya. Tersimpan dalam brankas kecil yang dia simpan di lemari baju. Sempat ku pergoki, lalu sekali diam-diam ku buka isinya. Uang itu utuh!  

Waktunya untuk mencari kerja. Memberi nafkah dari keringat sendiri.  

Dua kali aku dapat panggilan wawancara. Pertama di bank swasta, lalu yang kedua hanya sebuah toko perkulakan alat tulis kantor dan sekolah. Toko itu memiliki beberapa cabang. Omsetnya begitu besar sampai membutuhkan beberapa pegawai yang di khususkan bagian kantor. Urusannya sih apalagi kalo bukan tentang perputaran uang toko, juga perpajakan. Aku lebih berminat kerja di toko ini, karna tak perlu berinteraksi dengan banyak orang.  

Hal yang menarik selama wawancara adalah, calon boss ku begitu 'sederhana' sampai hanya memakai kaos oblong kucel, juga celana pendek. Sedang aku, demi menunjukan kesan rapi, rela berkemeja licin, lengkap dengan dasi dan sepatu mengkilap. Mungkin kalo kami jalan berdua, orang pasti mengira aku yang jadi boss sedang dia cuma sopir. Ups!  

Selain penampilannya yang kurang meyakinkan, gaya selama wawancara pun sungguh menyebalkan. Berkali-kali omonganku terpotong hanya karna suara telpon dan harus dijawabnya. Kalo sudah begitu, aku akan di minta mengulang lagi jawaban atas apa yang dia tanyakan. Itu juga dengan pasti akan muncul gangguan berikutnya, semisal karyawan lain yang meminta tanda tangan, atau sekedar pengecekan kiriman. Sabar!

Pada akhirnya, aku menyerah. Terlalu lelah aku mengulang, juga jengah. Tapi justru di saat itulah, si boss berkata, "Berapa gaji yang kamu minta?"  

Seseorang yang baru pertama mencoba bekerja dan belum punya pengalaman apa-apa, ditanya gaji. Aku harus bilang apa? Hei, aku ini terbiasa nerima duit orang tua selama kuliah, bahkan setelah menikah. Anggaplah aku beruntung dalam hal materi. Aku kurang bergaul, sebab terbiasa jadi anak rumahan.

Sorry, aku ralat. Aku berbohong dengan mengaku bahwa aku pernah bekerja di kafe, sebagai asisten manajer, dan sudah di gaji 4,5 juta.  

Saking sibuknya dengan menjawab telpon dan karyawan yang keluar masuk ruang kerjanya, sehingga kurang fokus padaku serta nilai-nilaiku, akhirnya si boss setuju menggajiku 5 juta. Wow!

Nominal yang cukup banyak untuk orang baru sepertiku. Setidaknya menurut aku sendiri.
 
"Sekarang kamu pergi ke sebelah! Ketemu sama Andra, biar di jelasin apa aja kerjaan kamu."  

Penuh semangat, aku berdiri, melangkah maju dan menyalami lelaki paruh baya yang kini resmi jadi boss ku. "Terima kasih, Pak!"  

Pak Peter, boss ku itu, hanya manggut-manggut sambil menjabatku.

"Oh ya satu lagi. Besok jangan pake baju kayak gitu ya! Ntar orang mikir kalo kamu boss-nya. Hahahahha....bercanda. Aku suka kamu rapi begitu. Bagus!"  

"Nama saya Chandra, Pak, bukan Bagus."  

"Maksudku, penampilan kamu itu bagus. Iya nama kamu Chandra. Aku ingat-ingat deh."  

Sudah tak sabar memberitakan hal ini pada nuna, tapi demi profesionalisme, aku harus menunda keinginan itu, lalu memilih menemui Pak Andra.  

Ternyata aku salah. Andra itu perempuan. Dia kepala kantor di sini. Usianya sekitar tiga puluhan. Cantik. Belum nikah. Itu sebabnya tak suka dan melarangku memanggilnya 'Bu'. Padahal di dunia kerja, hal itu biasa. Sebagai bentuk formalitas saja.  

"Itu meja kerja kamu." Andra menunjuk pada meja paling pojok di ruangan sebesar 6×6 meter, dan ada 5 meja kerja di situ. "Kamu bisa mulai dengan menghitung nota penjualan ini." Tumpukan nota dia serahkan langsung padaku.

Brogan Kesayangan NunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang