Kerlipan manja cahaya, yang dibiaskan di balik jendela. Kadang terhalang oleh hembus angin yang mengibarkan gordeng. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Selama nyawa ini masih dikandung badan, selama mata ini masih dapat membuka tutup kelopak mata, selama jantung ini masih berdetak dan mengalirkan suplai oksigen, selama tuhan masih menghendaki aku hidup, selama itulah hidup masih harus aku jalni. Aku tidak tahu rencananya di balik rencanaku. Aku hanya bisa pasrah kalau saja senja aku tak lagi berjaga, malam aku tak lagi larut tenggelam dan pagi aku tak lagi menyucikan diri. Setiap nyawa yang dikandung badan adalah kehendaknya. Termasuk istriku, Nurmala. Tak pernah aku sangka, perempuan agresif itu bisa-bisanya menikah denganku. Aku, si Fajar, bocah malang yang sangat dibencinya sejak di pondok. Tapi, takdir tuhan itu adalah sebuah karya sastra yang tak bisa aku tebak alurnya. Kadang lautan berubah jadi pegunungan, pegunungan jadi lautan, gurun jadi hutan, bahkan sebaliknya. Alur sastranya begitu mengena. Oh Tuhan ... entah bagaimana pula engkau takdirkan aku dengan perempuan yang dulu membenciku kini begitu mencintai dan kucintai. Tapi, aku sungguh beruntung. Nurmala, primadona pondok yang pandai tapi sedikit tomboi itu menjadi bidadariku. Ia begitu tekun dan ulet dalam mengerjakan sesuatu hingga mencapai hasil yang gemilang."Fabiayyi 'ala'i robbikuma tukadziban."
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?Itulah ungkapan paling indah, diantara ribuan syair pujangga yang kalah indah. Sesuatu yang mengobati kesakitan bagi diri yang telah lama mengakar. Dan itu adalah rencana tuhan untuk memberikan nikmat yang tiada tandingan. Kejutan terspecial bagi seorang hamba yang biasa saja. Itulah aku, Fajar.
"Zi ... bangun sayang! Saking sibuknya mengurusi nilai maha siwa, kamu sampai ketiduran. Sholat asar dulu gih!"
Ucapnya begitu lembut membelai-belai rambutku, seperti seorang ibu yang memanjakan anaknya.Zi, dapat dikatakan sebuah panggilan kesayangannya kepadaku, penggalan dari kata "Jauzi" suamiku.
Aku menikmati belaian lembutnya. Aku menggenggam tangannya yang tengah menggerayangi kepalaku, kukecup dan kutarik lengan itu ke pelukanku. Dia tak bergeming. Bagaikan seorang lakon cerita, ia hanya mengikuti alur yang dibuat sang dalang.
"Malas aku bangun, kalau bidadariku tetap menghangatiku," ucapku manja menciumi punggung tangannya.
"Eeehh ... kalau begitu, bidadarimu ini akan pergi saja. Seorang bidadari yang baik, tentunya tidak ingin bersama kekasihnya di dunia."
" Ko begitu, Sayang??? Kamu mau ninggalin aku? Yakin kamu bisa tanpa aku? hehe," rayuku.
"Dengerin dulu! Aku belum selesai bicara. Bidadari yang baik itu tidak ingin bersama kekasihnya di dunia jika dia akan kehilangan kekasihnya di syurga Alloh," bisiknya di telingaku begitu manja. Aku dapat merasakan desiran angin lembut yang menggelitiki telingaku.
Aku bangkit dari meja kerjaku yang menghadap tepat ke barat. Aku membalikan badanku, berhadapan dengan istriku. Ia membisu. Kepalanya sedikit ditundukan dari gempuran mataku. Aku menggenggam kedua tangannya begitu erat. Kami seperti patung. Bagai Romeo dan Juliet yang sedang mengikat janji dalam sepi. Hanya angin yang riuh meramaikan suasana, mengembangkan kain puring yang menghiasi gaunnya. Kami seperti model yang sedang berpose romance.
Aku masih menggenggamnya lebih erat, lebih menusukkan pandanganku lekat pada kornea matanya yang hitam terang. Tanpa kusuruh, perlahan ia memejamkan mata. Sedikit-sedikit, kepalaku lebih maju. Bibirku hampir melekat di bibir ranumnya yang merona.
Satu centi dari bibirku, bibirnya terkatup lalu terbuka dan terus seperti itu. Tiga tahun kami menikah, tapi rasa canggungnya tetap ada ketika aku memberikan sinyal kepadanya.
Ia melepaskan genggamanku, dan melingkarkannya di pinggangku. Ada hawa sejuk yang menjalar ke ubun-ubun. Darah seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bulu romaku asyik menari menciptakan suasana yang begitu indah. Tak dapat aku mengungkapkannya walaupun lewat seribu puisi ataupun sastra yang lainnya. Kembali kutemukan arti sebuah ayat"Fabiayyi 'alaa'i robbikuma tukadziban."
Saat aku tengah menikmati suasana itu, Fakhiz berteriak.
"Umii ... umii ..."
Dari lantai bawah, ia terus berteriak.Kami tersadar, saling melepaskan. Sekejap aku tangkap ekspresinya, pipinya merah merona, mengulum senyum seperti orang salah tingkah. Gemas aku dibuatnya. Padahal, bibir kami hampir saja menempel, mungkin beberapa mili lagi. Aku tersenyum sendiri dalam hati
"Ah ... kalau saja aku lebih cepat menggamit bibirnya," gumamku sedikit menyesal.*****
Waktu sudah menunjukan jam 14.15 WIB., tetnyata aku terlalu lama menjaili istriku. Bergegas aku pergi ke kamar mandi. Rasanya aku butuh kesegaran sebelum sholat ashar.
Di dalam bak mandi, aku tak mendengar apapun."Nampaknya calon sarjana ini mau berangkat sekolah? hehe"
"Terlambat lagi ya? Itu biasa. Anak sekolah itu super duper sibuk."Aku mendengar celoteh itu. Celoteh yang dulu sempat mengoyak hati, kini menjadi celoteh yang teramat manja. Celoteh Nurmala yang selalu mencari masalah di pondok. Aku masih melihat wajah polosnya yang masih belia. Waktu itu, aku tengah duduk di kelas tiga SMA, dan dia, mungkin kelas dua SMP atau MTS. Tapi sayang, dia berhenti pendidikan setelah lulus SD. Entahlah ... katanya, dia lebih tertarik pada pendidikan pondok pesantren. Dia menganggap orang yang sekolah pada masa itu tidaklah berguna apa-apa. Dia tidak mau seperti abangnya, yang menghabiskan banyak harta keluarganya hanya untuk berpendidikan. Tapi, dia menyalah gunakan kesempatan itu. Pendidikannya hanya dijadikan ajang gengsi semata. Harta orangtuanya telah habis, tapi abangnya justru tidak bisa apa-apa. Setelah kuliah satu semester, ia pun pergi merantau, entah ke mana. Sampai sekarang dia tidak memberi tahu, dan Nurmala pun tidak mau tahu.
Ah ... rasanya tubuh ini segar sekali setelah diguyur dengan air karunia tuhan. Aku mengeringkan tubuhku dan pergi ke luar memasuki kamarku dan Nurmala. Senda gurau perempuan dan anaknya itu terdengar sayup-sayup dari balik pintu. Kadang, bocah laki-laki itu tertawa geli yang kemudian disusul oleh tawa istriku. Rumah ini memang sepi, tapi tentu akan lebih sepi jika kehadiran mereka ditiadakan. Oleh karena itu, begitu senang aku mendengar keriangan istriku yang belakangan ini tercipta.*****
Setelah mengenakan baju koko dan sarung, kugelar sajadah di tepian ranjang. Sayup suara tawa menusuk ke ulu hati. Rakaat demi rakaat, dengan Fatihah dan surat Al Ghosiah yang berusaha kutartilkan, seperti halnya mamak haji waktu dulu. Tak terasa, airmataku meleleh. Sungguh ini sebuah kenyataan, seorang hamba yang lemah iman. Saat sholat, pikiran pasti melayang tak karuan, diajak bermain oleh syaiton.
Aku beranjak dari sholatku, melipat sajadah dan menyimpan peciku di atas meja rias. Aku menyisir rambutku sembari menciptakan irama dari mulutku dengan terus memandangi cermin. Ketika sisir itu hendak kuletakkan, laci meja terbuka sedikit. Ada tumpukan kertas yang tak pernah kulihat. Aku ragu untuk membukanya, karena itu milik istriku. Ah ... toh kami sudah menikah. Jadi, miliknya adalah milikku juga.
Kubuka perlahan. kadang melirik memperhatikan pintu, takut istriku datang. Perwujudan kertas itu semakin nyata. Coklat kumal tak bersampul. "Lii rojuli al mahbub."
Hanya tulisan itu yang kudapati di luarnya. Aku kenal perwujudan kertas ini. Kertas jaman lampau sewaktu kami masih di pondokan.
Di sana tertulis"Assalamu'alaikhum
Teruntuk inta, yaa akhie.
Selamat siang. Aku mengatakan itu karena aku menulisnya saat siang hari.
Maaf, aku telah lancang menorehkan perasaan untukmu. Kamu, mungkin adalah seorang berpendidikan, calon sarjana. Sementara aku, justru akhwat yang sangat membenci pendidikan di luar pesantren.Yaa akhie
aku tidak akan terlalu lancang untuk meminta ketidak halalanmu, aku hanya berharap kau akan halal bagiku.Di balik lembayung, aku sembunyikan kecanggunganku karena merindu disaat aku berpapasan denganmu.
Tapi, ketika kau telah berlalu dan menghilang di punggung musim, aku menyesal. Aku menyesal tak dapat lebih lama denganmu.
Sekali lagi, maafkan aku.
Apabila aku kuasa, mungkin surat ini akan sampai ke tanganmu. Tapi apabila tidak, surat ini akan sampai disetiap mimpiku.Tertanda
Nurmala AlfiatunNazwaWassalamualaikhum.
*****
Bagaimana kawan? Nyambung gak? Tujuanku hanya untuk menciptakan sesuatu yang menurutku rumit ___Tak tertebak___ Oleh karena itu, stand by terus ya, and jangan lupa krisannya. Ini bagian duanya. Semoga menikmati :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Santri Salafi
Historical FictionTerkadang, orang menganggap pendidikan pesantren itu amatlah rendah. Santri-santri, lulus dari pondok hanya sekedar menyandang gelar An'nuas, abu naum, santri budug atau apalah itu. Tapi di sini, pendapat-pendapat itu tidak semuanya benar. Setiap in...