Lagi-lagi aku tidak bisa menghalangimu terjun ke sana. Ke sebuah sungai yang tidak asing lagi bagi kita. Air Kapuas yang semula tenang memunculkan gelombang dan busa saat tubuhmu sepenuhnya masuk. Kontan kepalamu muncul di permukaan air. Tidak ada rasa takut yang hinggap di kedua bola mata itu. Ada tidaknya buaya yang bisa datang kapan saja.
Aku meletakkan sebuah tas berisi perlengkapan atlit renang di tepian sungai. Sembari terus memperhatikan teknik renangmu yang kian hebat dari hari ke hari. Namun, aku tahu persis. Ada emosi yang bercampur kala kau menghempaskan lengan. Sejak kecil kita telah menghabiskan waktu bersama di air. Nyaris di setiap akhir pekan. Instingku sebagai perempuan cukup tajam. Sehingga mampu merasakan perubahan itu meski dalam samar.
"Kau marah?" tanyaku padamu yang mulai naik ke tepian sungai. Kau hanya menatapku dengan ekspresi kosong.
Jika saja mood-mu sedang baik, pakaian basah yang melapisi kulitmu akan segera kulepas.
"Maafkan temanku. Dia tidak tahu apa-apa tentangmu. Oh ya, dia sudah tahu. Perihal kau akan melaju ke Vietnam bulan Juli nanti." Lidahku kembali menyahut.
Wajahmu tetap kaku dan memerah. Seperti biasa, menahan emosi yang sengaja tak kuterjemahkan. Biarlah sesekali perasaanmu kuabaikan.
Dua jam yang lalu, kita bertemu Sena. Tepatnya, di kantin gedung olahraga yang ada di samping Mega Mall Pontianak. Dia temanku sekelas dulunya. Aku dan temanku pun mengobrol cukup hangat. Kau tampak bosan dan ingin segera terjun ke kolam renang.
"Aku pikir kau mengambil beasiswa kuliah dari Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Pontianak yang direkomendasikan Kepala Sekolah waktu itu, Salsa." Sena berkata seolah simpatik padaku yang tidak memegang status sebagai mahasiswa saat ini.
"Pasti menyenangkan bisa merasakan dunia kampus ya." Aku menyahut demi mengalihkan pembicaraan. Sejujurnya, tema pembicaraan semacam ini tergolong sensitif di hati.
"Tentu saja. Sangat menyenangkan. Ayolah, kau harusnya bisa mengambil peluang itu. Masih ada tahun depan. Pastikan kau sedang tidak mengasuh adikmu yang tuli itu," ucap Sena dengan maksud bergurau. Tanpa mengindahkanmu yang ada di dekatku.
Seketika wajahku kaku. Hilang sudah selera berlama-lama dengannya. Tanganku diam tanpa berusaha menahan kepergianmu pasca dia mengeja kata 'tuli'.
"Dia memang tuli. Tidak masalah seberapa lama aku terus menjaganya. Terpenting, aku bisa melihatnya berlaga di Vietnam nanti. Pastikan kau menontonnya lewat channel TV. Sudah ya." Aku menutup obrolan. Segera menyambangimu di gedung kolam renang. Meninggalkan Sena yang tidak sempat meminta maaf.
Sampai di sana, kau justru hanya duduk di kursi dekat kolam. Aneh, biasanya kakimu tidak bisa menahan diri demi menyentuh air. Kali ini tampak berbeda. Matamu kosong menatap lalu lalang anak-anak seusiamu berenang dengan sukacita. Kaki ini memilih mendekat padamu.
Perasaanku memang sudah tidak enak sejak tadi. Sejak bertemu teman lama. Awalnya, aku bermaksud menghiburmu. Nyatanya, tangan yang ingin menggengam bahu kecilmu, tiba-tiba saja tertepis olehmu. Jika saja ini pertama kalinya terjadi, mataku pasti sudah membelakak lebar.
Ya, aku mengerti. Hati laki-lakimu tengah tersinggung. Garis lurus basah di pipimu menjadi buktinya. Mei lalu, usiamu menginjak 12 tahun. Entah ulang tahun ke berapa matamu berhenti menangis.
Aku menghela napas sejenak. Jika begini lebih baik aku membawamu pulang. Sembari menggandeng tanganmu menuju parkiran motor. Biarlah hari ini kita bebas dari latihan renang.
Di perjalanan pulang siang itu, kita melewati Sungi Kapuas. Ukurannya memang terpanjang se-Indonesia. Tak hanya di alun-alun, komplek rumah penduduk di wilayah tenggara pun berdampingan dengan sungai ini.
Hanya saja, ada rasa aneh menyergap. Boncenganku terasa ringan. Kontan motor kuhentikan.
Tak ayal lagi, kau rupanya menjatuhkan diri sejak tadi dan berguling. Setengah berteriak aku memanggilmu. Motor terparkir sembarangan di pinggir jalan. Kau terus menjauh. Berlari seolah merindukan sesuatu yang ada di sungai sana.
Ya, aku tidak bisa menghalangimu terjun ke sana. Ke sebuah sungai yang tidak asing bagi kita. Air Kapuas tak lagi tenang. Ikut bersimpatik dengan menampung air matamu. Hatiku mengerti jika kau tengah merindu dengan ayah bunda. Hanya tempat ini yang menggantikan aroma keberadaan mereka.
Aku masih terduduk di tepian. Menanti jawaban darimu. Atas tanya yang terlontar dua detik lalu.
'Kau marah?' Aku bertanya sekali lagi. Tanpa melibatkan pita suara. Jari telunjuk ini menyentuh pipi sendiri.
'Apakah aku penghalang mimpimu?' Kau malah balik bertanya. Bahasa isyaratmu sedikit kacau.
'Justru kaulah perpanjangan impianku,' jawabku tulus.
'Seharusnya kau kuliah. Bukan menjagaku demi ke Vietnam.' Kau kembali protes. Tangismu yang sekarang sama seperti saat kau terdiskualifikasi mendahului peluit juri kejuaraan tingkat daerah.
'Dengar, kau adalah amanah ayah dan ibu. Apapun yang orang lain katakan. Tidak akan pernah mengganggu jalanmu. Takdirmu adalah menang hingga ke sana.' Kau hanya punya aku untuk menguatkanmu.
'Untuk apa kompetisi ini? Aku tidak butuh tempat lain. Sungai ini sudah cukup. Lalu, kau...jadilah mahasiswa saja,' ujarmu marah-marah.
'Bunda bahkan masih melatihmu untuk ke Vietnam. Sebelum tragedi itu terjadi. Kau tega menyiakannya?' Maaf, kali ini aku mengungkit soal bunda.
Tanganmu berhenti menyahut. Tangismu terpendam. Maaf, kita harus mengingat kisah kematian mereka.
'Aku akan tetap mengajarimu start tepat peluit selesai ditiup. Ayo, kita lunasi mimpi mereka.' Sedihmu cukup sampai di sini, adikku.
Cukuplah kebisuanmu yang menyaksikan Sungai Kapuas ini. Bukan air mata ataupun rengekan.
YOU ARE READING
Saksi Bisu Sungai Kapuas
Short StoryDalam rangka mengapresiasi Ilham Ahmad Turmudzi, si perenang tuna rungu yang lolos ke kejuaraan renang kelompok umur ASEAN di Vietnam