Bagian 1

271 47 1
                                    

Aku terbangun ketika merasa punggung ku terasa sakit karena menghantam lantai. Aku terduduk setelah nya. Menatap ruang tengah yang terasa hangat dan seluruh tas dan sepatu ku yang berserakan telah menghilang. Aku melepas jaket ku lalu megambil bantal sofa lalu menarik kembali selimut yang pasti Papa pasangkan untuk ku. Aku kembali tertidur dan ini hanya pura-pura. Merasakan uluran tangan Papa yang mengusak lembut rambut ku lalu menatap ku mungkin. Aku merasakan hembusan napas nya yang hangat di sektar dahi ku.

"Bangun lah, ganti baju mu dan pindah ke kamar mu. Punggung akan sakit jika tidur di sofa" Aku berpura-pura bangun lalu terduduk begitu saja.

Aku melihat Papa yang kini duduk di sofa seberang dengan piyama navy dan segelas teh hangat untuk nya. Aku menatap susu cokelat hangat yang berada di hadapan ku lalu meminum nya.

"Apakah sekolah mu baik-baik saja? Kau tidak di bully atau apapun itu?" tanya Papa menatap ku. Aku menggelengkan kepala ku lambat lalu menyesap kembali susu coklat itu. Aku kembali terfokus pada Papa yang juga mentap ku sedari tadi.

"tidak ada kendala untuk bahasa? Kau mendapatkan teman?"

"tidak ada Papa, untuk teman aku mendapatkan seorang korea. Dia berasal dari Busan"

"aku bersyukur untuk hal itu. Untuk sekarang aku mengkhawatirkan mu sebetul nya" Papa menghembuskan napas nya panjang. Seperti nya ini akan mennjadi pembicaraan yang panjang. Di umur ku yang kelimabelas, aku sedikit was-was dengan Papa. Papa terlalu mengkhawatirkan ku.

"aku ingin kau ikut program pelajaran tambahan. Ini membuat mu untuk menghabiskan waktu untuk meunggu Papa. Di opsi kedua, kau bisa setelah pulang sekolah untuk datang ke stu-"

"aku akan mengikuti program itu. aku tidak ingin merepotkan Papa. Tapi, jika aku mengikuti program itu, bukan nya akan menambah pengeluran?"

Papa menatap ku sambil tersenyum. Lalu bangkit membawa gelas teh nya yang masih separuh.

"tidak untuk anak Papa"

Senyuman Papa sangat lah lembut. Aku melihat senyuman itu tidak luntur hingga Papa kembali dari dapur lalu bergabung dengan ku

"mau menelpon nenek?" tanya Papa dan aku mengangguk antusias.

Seusai acara menelpon nenek dengan ponsel pintar Papa, Papa mengajakku untuk tidur namun aku tidak bisa tertidur. Hingga malam berlanjut, aku tetap tidak bisa tertidur. Hingga pada akhir nya, suara pintu balkon itu berderit keras dan seperti nya Papa akan menghabiskan malam nya di sana.

Aku menghembuskan napas lelah lalu mencoba untuk tidur. Aku terbalak sempurna ketika suara bedebam dari arah luar terdengar sangat nyata. Berbekal dengan sebuah selimut aku mengendap menyusuri ruangan hingga berakhir di balkon dekat kamar Papa. Kamar ku bersebrangan dengan kamar Papa namun kamar Papa lebih dekat dengan pintu balkon. Kulihat, Papa tengah terduduk sambil menundukkan kepala.

Ia tampak kesakitan dengan buku-buku jari nya yang memutih. Suara tangisan itu tertahan sehingga ia memukul diri nya sendiri. Ini bukan yang pertama atau kedua. Sudah bertahun-tahun Papa seperti ini. Pada kejadian terburuk, Papa overdosis di kamar nya.

Masih berlanjut
Terima kasih telah membaca cerita ini

Last Dance ; jinseobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang