Bagian 3

171 40 4
                                    

Pagi hari datang dengan keadaan ku yang masih lelah dengan aktifitas malam ku dengan Papa kemarin malam. Saat masih fajar, aku mengetuk pintu kamar Papa dan tanpa permisi, aku masuk kedalam kamar Papa yang rapih. Papa masih terlelap dengan sisa lelah di wajah nya.

Aku keluar dan berusaha tidak mengeluarkan deritan apapun. Berjalan menuju pintu balkon dan membuka nya lebar-lebar. Aku berjalan kembali menuju dapur dan menyiapkan semangkuk oatmeal favorit nya lengkap dengan potongan stroberi dan untuk ku sendiri aku hanya menyiapkan telur orak-arik dengan bacon favorit ku. Aku menatap hasil kerja keras ku lalu kulihat Papa bangun dan berjalan ke meja makan.

"Sagang apakah kau tidak lelah?"

"aku tidak Papa"

"mungkin Papa mu sudah tua" Papa tertawa kecil lalu melahap oatmeal nya. Seperti nya ia lupa menyiram nya dengan madu. Aku menghentikan tangan Papa lalu menyiramkan oatmeal Papa dengan madu.

"Apakah kimchi sudah terfermentasikan dengan baik hari ini?"

"ini belum satu hari Papa" aku kembali meminum susu ku dan menatap Papa makan dengan sisa-sisa lelah nya kemarin. Kami membuat kimchi bersama setelah mengetahui di dasar kotak terdapat saus ikan pemberian nenek. Dengan segera kami belaja banyak sawi dan container kecil. Malam yang sangat melelahkan memang.

Pagi ini, Papa ku seperti anak kecil. Aku berlalu meninggalkan Papa yang roh nya masih setengah dan setengah nya lagi tertinggal di kasur. Aku bersiap-siap untuk sekolah hari ini. Aku mengusap layar ponsel ku dan terdapat satu pesan dari Junwook agar menemui nya di gerbang sekolah pada saat pulang nanti.

Aku berjalan menuju ruang makan dan mendapati Papa masih dengan piyama. Aku memeluk Papa dari belakang dan Papa terkejut dengan perbuatan ku.

"kau akan berangkat? Ini sudah pukul berapa?"

"masih pukul delapan lebih Papa. Aku berangkat" aku mengecup pipi gembil Papa lalu berlalu dan kulihat di depan lift penuh dengan orang-orang. Aku memutuskan untuk melewati tangga darurat. Ketika pada saat aku merasa lupa dengan bekal ku, aku kembali dan kulihat sosok laki-laki berada di depan pintu. Aku bersembunyi di ujung lorong dan kemudian laki-laki itu masuk dengan Papa yang telah berganti baju seperti nya.

Aku takut untuk saat ini.

Aku menghembuskan napas ku kasar. Aku mengamati jam yang ada di ponsel lalu mendengus kesal. Papa lebih penting untuk saat ini. Aku berkeringat untuk saat ini. Jika aku lebih memilih sekolah dan aku mampu melewati 20 menit terakhir sebelum pukul sembilan mungkin saja aku akan kehilangan Papa. Aku terlalu takut untuk saat ini. Tuhan, lindungi Papa ku yang polos itu. Aku berdoa dengan setengah hati.

Sepuluh menit berlalu dan tidak nampak Papa keluar dengan laki-laki itu.

Aku menjejakkan kaki ku penuh marah. Aku masih 15 tahun, dan aku tidak sebanding dengan laki-laki dewasa. Sialan.

Tuhan, lindungi Papa seperti melindungi ku.

Tepat di menit ke dua puluh lebih, Papa keluar bersamaan dengan laki-laki itu. Ransel Papa ada pada laki-laki itu dan kulihat Papa tampak bercengkrama dengan Laki-laki itu. Sial. Dua puluh menit ku yang berharga dan aku tidak sia-sia.

Papa terlihat berbicara sesekali tertawa kecil. Pria itu memiliki kantung mata dengan dagu yang penuh janggut. Tipikal pria jorok. Mereka tampak menunggu lift lalu masuk kedalam. Tubuh ku merosot lalu aku segera menyusuri tangga darurat dan berusaha sampa lobi terlebih dahulu.

Aku tampak seperti penguntit saat ini.

Ketika mereka sampai pada lobi, kulihat tangan kiri pria itu berusaha meraih bahu sempit Papa.

Last Dance ; jinseobTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang