[Suzanne Millia]
Jason bilang, sudah seminggu ini aku seolah beralih profesi menjadi pengawal Lara, sebab setiap kelas selesai aku tidak akan lepas dari melakukan dua hal; 1) menelepon Lara untuk memastikan keadaannya; 2) mengunjungi Lara ketika merasa ada yang salah. Ketika bersama Lara, mataku juga tidak berhenti mengamati sekitar, mencoba menjauhkannya dari orang-orang yang kuanggap berbahaya. Tanggapan Jason sendiri hanya tertawa. Andai dia tahu kalau aku sedang berusaha menjauhkan Lara dari para muslim itu dan bukannya bersikap protektif pada sepupu yang baru mengikuti sekolah umum, mungkin reaksinya akan sedikit berbeda.
Maksudku, Jason berasal dari keluarga religius yang menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, sangat berbeda denganku. Kami bisa pacaran pun karena beribadah di gereja yang sama. Bukan berarti aku tidak menyukainya--aku sangat mencintai Jason. Hanya saja, terkadang aku berpikir apakah perasaannya terhadapku akan berubah suatu hari nanti? Bisa saja ketakutanku terhadap Islam membuat dia balik membenciku.
Kalau aku menceritakan ini pada ibu, dia pasti akan memintaku untuk segera putus dari Jason.
Hari ini, aku melakukan hal yang sama, berusaha secepat mungkin untuk tiba di kelas Lara. Syukurlah karena sepupuku itu sudah menghapal gerak-gerikku. Dia telah lebih dulu keluar kelas dan menungguku di sana untuk bersama-sama menuju cafetaria, bersandar pada dinding dengan tas selempang yang ia tenteng.
Penampilan Lara sama seperti hari-hari sebelumnya, hoodie kebesaran yang dipadukan dengan jeans. Senyum tak lagi menghiasi wajahnya sejak keputusan Bibi Cecile agar aku mengawasinya. Lara pasti sedang depresi berat sekarang. Aku sangat yakin bahkan tanpa ia beritahu. Hubungan kami yang mungkin dimulai sejak masih berada di dalam kandungan ini bukanlah main-main.
Ponsel pintar Lara pun telah seminggu disita. Kini, dia hanya memakai ponsel yang hanya dapat melakukan dua hal, telepon dan mengirim pesan. Benda itu pun senantiasa aku cek, memastikan kalau gadis ini tak punya satu pun kontak para muslim itu.
"Lara, berikan tasmu," ucapku dalam perjalanan kami menuju cafetaria.
Dia sempat memutar mata, tetapi tetap saja mengoperkanku tasnya. Masalahnya adalah sewaktu aku menerima benda itu. Aku tak sanggup membawanya, sampai-sampai tas Lara terjatuh ke lantai dengan suara bruk yang keras.
"Apa isi tas ini!?" tanyaku penuh emosi sambil berusaha mengangkat benda itu dari lantai.
"Batu bata." Lara menjawab singkat tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Malah, dia terus berjalan lurus, meninggalkanku di belakang.
Terkejut, aku berjongkok dan membuka tas Lara terburu-buru, mengambil apapun yang ada di dalam tanpa melihatnya. Kedua tanganku hanya mampu mengangkat sebuah kamus dan
sebuah ensiklopedia umum. Sekalipun sudah mengurangi dua beban, bahuku masih tak sanggup menopangnya."Kau bahkan tak punya kelas bahasa Latin hari ini, Lara!"
Gadis itu hanya melambaikan tangan tak peduli.
Aku mendecih tak senang.
Suara tawa terdengar dari samping. Kepalaku mendongak dan mendapati Jason yang tak ditemani satu pun anggota tim football. Cowok berambut brunette tersebut menyodorkan ranselnya padaku, yang ternyata lebih ringan daripada kelihatannya, kemudian mengambil buku-buku dari tanganku dan memasukkannya kembali ke dalam tas Lara. Tanpa mengatakan apa-apa, Jason mengaitkan benda itu di bahu kirinya dan berdiri tegap, yang membuatku otomatis mengikutinya.
Tersenyum manis padaku, Jason berkata, "Jangan mencoba. Badanmu itu jauh lebih kecil daripada Lara." Entah ia berniat bercanda atau memang seperti itulah yang dipikirkannya, tetapi sepertinya ia berhasil menjadikan mukaku memerah malu. Dia menggenggam pergelangan tanganku yang menenteng tasnya. "Tapi, itu salah satu alasan kenapa aku berpacaran denganmu," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...