Satu

27 5 1
                                    

Reyna berlari tergopoh-gopoh menuju kelasnya. Rambutnya yang dikuncir dua ikut bergoyang-goyang. Dia menggigit bibirnya yang berwarna merah delima dan menuju ke lantai tiga, tepat di samping tangga itulah kelasnya terletak. Suasana terdengar riuh karena hari ini merupakan Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB). Reyna mengatur napasnya dan memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Tok... tok... tok... Dia membuka pintu dan masuk ke dalam kelas. Suasana menjadi hening dan semua mata tertuju padanya. Para senior yang sedang duduk di bangku guru pun menatapnya bingung, "Siapa yang suruh kamu masuk?"

Reyna membelalakan matanya, "aa... Itu, Kak. Maaf saya telat."

"Hm... Saya gak nanya kamu telat atau apa. Saya cuma tanya siapa yang suruh kamu masuk?!" Ujar senior laki-laki yang mendekati Reyna. Dia membaca nama Reyna yang tertulis besar di nametag yang menyangkut di dadanya, "Reynata... Diandra Reynata. Semuanya, hafalin ya, namanya Diandra Reynata. Dia bisa aja bikin kalian semua kena hukuman pas di lapangan nanti."

Seorang anak laki-laki berperawakan sedang dan berkacamata pun mengacungkan tangannya dan berdiri, "Maaf, Kak Sabian. Saya Sean Nadhil, saya mau tanya, karena cuma Reynata yang terlambat kenapa kita semua harus kena sanksi? Itu kan gak adil."

Sabian menggeleng-gelengkan kepalanya. Berjalan pelan menuju tempat duduk Nadhil. "Kalian ini semuanya satu angkatan, bukan? Kalian harus belajar solid. Satu sengsara, semua sengsara. Satu senang, semua juga senang. Cukup adil saya rasa. Karena Reyna telat selama lima belas menit, maka kalian semua harus lari mengelilingi lapangan sebanyak lima belas kali. Mengerti?" Nadhil diam, menatap Reyna cukup dalam dan membuat Reyna terlihat sangat gugup di depan.

"K... Kak Sappian..." Reyna memanggil Sabian. Seluruh kelas mendadak tertawa, begitu pula senior-senior yang sedang memperhatikan mereka. Reyna tambah bingung. Semuanya kembali terdiam begitu Sabian menatap mereka dengan dingin.

"Siapa yang kamu panggil? Coba liat baik-baik nama saya. SA-BI-AN. Ini kenapa lagi pake sepatu tingginya melebihi mata kaki? Kamu gak pake kaus kaki ya? Buka, buka sepatu kamu, sekarang!" Sabian memperlihatkan kartu panitianya.

Jantung Reyna berdetak cepat mendengar gertakan tersebut, dengan cepat dia melepaskan sepatunya. Lagi-lagi tawa di kelas itu pecah. Sabian menghela napasnya dalam-dalam dan menutup matanya. "Reynataa! Kenapa kaus kaki kamu beda sebelah?! Gak ada peraturan itu. Aduh saya pusing sama kamu. Saya nggak mau tau besok pake sepatu normal semata kaki dan kaus kaki warnanya sama."

Reyna masih terdiam dan tertunduk malu. "Kak Sabian... Boleh gak saya aja yang dihukum? Anak-anak yang lain gak usah." Reyna makin mencuri semua suasana. Anak-anak kelas yang sudah merasa kesal kini menatap ke arahnya. Seluruh kelas berteriak, "NYANYI! NYANYI! NYANYI!!"

Sabian mengangkat tangannya ke atas membentuk simbol untuk menyuruh semuanya tenang. "Oke, oke. Boleh, silahkan nyanyi, yang serius."

Reyna mengambil napas, "Baby, tell me when you miss me

Call me when you're lonely

Hey there don't you worry

No matter how far, baby I'll be there for you..."

WUHUUUW!! Kelas menjadi riuh tak terkendali, semua orang bertepuk tangan mendengar nyanyian Reyna. Sabian tersenyum memandang Reyna, bulu kuduknya berdiri ketika mendengar Reyna bernyanyi.

***

Jam makan siang pun tiba. Bekal yang harus dibawa untuk hari ini adalah nasi goreng. Reyna membuka kotak bekalnya. Nadhil duduk tepat di depannya, Reyna mengambil sendok dan menusuk-nusuk punggung Nadhil,

"A... Aw. Sakit. Kenapa sih?" Cowok berkacamata dengan potongan rambut botak 2 cm itu menoleh.

"Hm... Maaf. Lo mau makan sayuran gue gak?" Reyna menyodorkan kotak bekalnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 07, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Old UsWhere stories live. Discover now