1

1.2K 249 29
                                    

Terinspirasi dari salah satu jawaban Jungkook dalam wawancaranya di sebuah acara yang tidak dapat aku temukan lagi screenshoot-annya T_T.

Enjoy!

.

.

Apel merah.

Adalah sesuatu yang setiap paginya kutemukan di genggamannya. Dengan sepasang earphone menyumpal di kedua telinganya, dan lantunan lagu klasiknya yang terdengar sampai ke telingaku—yang notabene duduk di belakangnya.

Kaca jendela yang memisahkan gedung dengan alam luar itu memantulkan bayangan wajahnya dari samping, cukup jelas sampai terkadang aku memilih memperhatikan kaca itu daripada perawakan Pak Darwin di depan kelas yang sibuk menjelaskan sekelumitan rumus phytagoras yang tidak kumengerti.

Sama seperti rumus phytagoras, aku tidak pernah bisa memahaminya.

Terkadang ia mendengarkan musik klasik, terkadang ia mendengarkan musik hip hop.

Yang kutahu dengan pasti adalah, dia suka apel merah dan suka mendengarkan musik.

Kami tidak begitu dekat. Ia tipe orang yang sulit untuk didekati. Pribadinya yang dingin dan irit kata itu membuatnya tampak seperti anak antisosial.

Aku tidak pernah melihatnya berbicara dengan teman-teman di kelas kecuali jika ada tugas kerja kelompok. Kupikir ia memang tidak menyukai kelas ini. Tapi kenyataannya, aku juga tidak pernah melihatnya berkumpul dengan murid kelas lain.

Dua hari ini, aku bahkan tidak mendengar suaranya sama sekali.

Yang kutahu dengan pasti adalah, ia suka apel, suka mendengarkan musik, dan suka keheningan.

Ia menjadi pusat perhatian. Bukan karena ketampananannya—ah, bahkan kupikir hanya aku yang menyadari hal tersebut. Ia juga tidak pernah menunjukkan keahliannya di bidang apapun selain prestasi akademiknya.

Ia menjadi pusat perhatian, karena ia sering menjadi bulan-bulanan anak-anak dari penguasa.

Pribadinya yang dingin itu membuat sekelompok murid-murid yang menyebut diri mereka penguasa sekolah—dengan mengandalkan kaki dan tangan tanpa otak—menghujaninya dengan cemooh kotor.

Tidak jarang aku melihatnya terpojok di sudut loker dengan tiga murid berotak dangkal mengelilingi presensinya.

Tidak jarang pula kutemukan lebam keunguan di sudut bibirnya ketika ia memasuki kelas di pagi hari.

Namun tidak ada yang mau repot-repot bertanya tentang bagaimana ia mendapatkan jejak ungu kehitaman di beberapa titik wajahnya.

Ia juga tidak mau repot-repot membalas perbuatan kotor teman-teman kami di sekolah.

Yang dilakukannya hanya sekedar hadir dan mengikuti pelajaran.

Yang kutahu dengan pasti adalah, dia suka apel merah, suka mendengarkan musik, suka keheningan, pintar dalam akademik, dan seorang korban bullying.

          "Hai, Jeon."

Kehadiran murid perempuan itu menyedot atensi seluruh murid-murid di kelas kami—tanpa terkecuali, aku.

Primadona sekolah, cantik, kulit yang putih, dan kabar yang menyebar tentang kecantikannya yang tidak tersentuh pisau bedah. Gadis itu, memasuki kelas kami dan mengajak bicara seorang murid laki-laki yang kerap kali menjadi bahan 'permainan' anak-anak.

Siapa yang tidak tertarik dengan pemandangan tersebut?

Ia menoleh—pria dengan marga Jeon tersebut—tanpa melepaskan sepasang headset di kedua telinganya.

A Boy Who Likes A Red Apple ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang