11. Sedih dan Senang

192 71 53
                                    

Memang, dari awal lo hanya sahabat yang gue punya, Ziko. Selamanya hanya akan menjadi sahabat.

Seusai sarapan, Bilha masuk ke kamarnya lagi. Namun, matanya tertuju pada boneka bear yang ada di kasurnya.

Bilha mengambil boneka itu dan duduk di atas kasur.

Boneka itu mengingatkan Bilha tentang sosok Ziko yang selalu berada di dekatnya. Bukan menjadi seseorang yang akan mencintainya. Melainkan seorang yang tidak lebih dari kata sahabat.

"Gue memang egois maksain Bia untuk balas perasaan elo, Zik. Gue terpaksa. Gue gak suka lihat lo murung. Lo beda. Lo gak kayak Ziko yang gue kenal. Berasa asing bagi gue saat tingkah konyol lo hilang gitu aja."

Bilha masih memandangi boneka bear itu. Seakan-akan dialah Ziko hanya untuk mendengarkan desahannya. Ia ingin mengatakannya langsung pada Ziko. Berteriak kencang pada Ziko karena kebodohannya. Ia ingin Ziko sadar. Mungkin Bia gak akan membalas perasaannya dan malah menyakitinya. Tetapi, disini ada hati yang senantiasa selalu memikirkannya. Termasuk memikirkan kebahagiaannya. Meskipun Bilha tau, memusuhi Bia hanya akan mempersulit dirinya untuk mendekatkan Ziko kembali dengan Senjanya.

Ia terlalu mudah emosi. Bahkan tanpa pertimbangan, Bilha mengatakan semua rasa yang disimpan Ziko pada Bia. Ia salah. Seharusnya Bia tau dari Ziko sendiri. Bukan dirinya.

Menyesal memang tak pernah datang tepat waktu.

Ia lantas mengembalikan lagi boneka itu pada posisi semula. Lalu beranjak dari sana menuju meja belajar hanya untuk mengambil kotak yang berukuran sedang di laci meja. Ada beberapa kertas yang Bilha simpan di kotak itu. Termasuk kertas yang berisikan surat dari dokter.

Dari balik pintu, ia hanya bisa melihat seseorang yang menangis untuknya. Dari balik pintu, ia sedikit mengintip ke dalam ruangan yang berisikan beberapa orang. Dari tangis seorang itu, ia bisa mengira berita buruk tentang dirinya.

Ia melihat bundanya menangis.

Gadis itu hanya bisa diam. Ia bahkan mendengarkan semua penjelasan dokter yang diberitahukan kepada orang tuanya.

Hatinya berdenyut perih saat tau dirinyalah penyebab bundanya menangis.

Bilha ingin menghapus jejak air mata di wajah bundanya. Nyatanya ia gak bisa. Satu-satunya cara membuat bundanya tersenyum adalah wajah bahagianya.

Ia gak boleh menunjukan sedikitpun kecemasan maupun kesakitan dari tubuhnya. Meskipun, penyakitnya akan terus menggorotti sisa umur yang ia punya.

Kanker hati stadium empat.

"Maaf, bunda. Sebelum Bilha pergi, Bilha pasti buat bunda sama ayah bahagia dulu." gadis itu lalu beranjak dari tempatnya sekarang.

Sudah beberapa bulan yang lalu semenjak kejadian yang baru ia ketahui. Bukan tanpa alasan Bilha menyembunyikan. Ia hanya takut mengetahui penyakit yang di deritanya akan membuat Bilha malas untuk bangkit. Nyatanya saat kesakitan di tubuhnya mencapai puncak, bahkan pingsan, barulah orang tuanya tau penyakit yang di derita Bilha. Sebenarnya ia cukup kaget. Bahkan terlalu kaget untuk mengetahui fakta yang sebenarnya, jika ia tak memiliki banyak waktu untuk bersedih.

Bilha meletakan lagi surat pernyataan dari dokter. Lalu mengambil kertas berwarna berukuran sedang. Dan mengambil satu buah pena.

"Gue gak pernah merasakan takut tentang penyakit gue. Namun untuk pertama kalinya, setelah mengetahui penyakit yang gue derita, gue takut lagi. Gue takut, waktu berjalan cepat hingga menciptakan sebuah penyesalan. Gue terlalu lena memikirkan keegoisan gue. Tetapi gue terpaksa hanya demi elo bahagia, Ziko. Karena elo penting bagi gue. Orang kedua yang gue sayang selain orang tua gue."

FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang